KITAB PARA DATU
ATAU
KISAH KENANGROK.
Tuhan, Pencipta, Pelindung dan Pengakhir
Alam,
Semoga tak ada halangan,
Sudjudku sesempurna sempurnanya.
I. Demikian inilah kisah Ken Angrok. Asal
mulanja, ia didjadikan
manusia: Adalah seorang anak janda di Jiput,
bertingkah laku tak
baik, memutus - mutus tali kekang
kesusilaan, menjadi gangguan
Hyang yang bersifat gaib; pergilah ia dari
Jiput, mengungsi ke
daerah Bulalak.
Nama yang dipertuan di Bulalak itu: Mpu
Tapawangkeng, ia
sedang membuat pintu gerbang asramanya,
dimintai seekor
kambing merah jantan oleh roh pintu.
Kata Tapawangkèng: "Tak akan berhasil
berpusing kepala,
akhirnya ini akan menjebabkan diriku jatuh
kedalam dosa, kalau
sampai terjadi aku membunuh manusia, tak
akan ada yang dapat
menyelesaikan permintaan korban kambing
merah itu."
berkata, sanggup mejadi korban pintu Mpu
Tapawangkeng,
sungguh ia bersedia dijadikan korban, agar
ini dapat menjadi
lantaran untuk dapat kembali ke surga dewa
Wisnu dan menjelma
lagi didalam kelahiran mulia, ke alam tengah
lagi, demikianlah
permintaannya.
Demikianlah ketika ia direstui oleh Mpu
Tapawangkeng, agar
dapat menjelma, disetujui inti sari
kematiannya, akan menikmat i
tujuh daerah.
Sesudah mati, maka ia dijadikan korban oleh
Mpu
Tapawangkeng.
Selesai itu, ia terbang ke surga Wisnu, dan
tidak bolak inti
perjanjian yang dijadikan korban, ia meminta
untuk dijelmakan di
sebelah timur Kawi.
Dewa Brahma melihat lihat siapa akan
dijadikan temanya
bersepasang. Sesudah demikian itu, adalah
mempelai baru, sedang
cinta mencintai, yang laki laki bernama
Gajahpara, yang perempuan
bernama Ken Endok, mereka ini bercocok
tanam.
Ken Endok pergi ke sawah, mengirim suaminya,
yalah: si
Gadjahpara; nama sawah tempat ia: mengirim :
Ayuga; desa Ken
Endok bernama Pangkur.
Dewa Brahma turun kesitu, bertemu dengan Ken
Endok,
pertemuan mereka kedua ini terdjadi di
ladang Lalaten; dewa
Brahma mengenakan perjanjian kepada isteri
itu: "Jangan kamu
bertemu dengan lakimu lagi, kalau kamu
bertemu dengan suamimu,
ia akan mati, lagi pula akan tercampur
anakku itu, nama anakku itu:
Ken Angrok, dialah yang kelak akan
memerintah tanah Jawa".
Dewa Brahma lalu menghilang. Ken Endok lalu
ke sawah,
berjumpa dengan Gajahpara.
Kata Ken Endok: "Kakak Gajahpara,
hendaknyalah maklumi, saya
ditemani didalam pertemuan oleh Hyang yang
tidak tampak di
ladang Lalateng, pesan beliau kepadaku:
jangan tidur dengan
lakimu lagi, akan matilah lakimu, kalau ia
memaksa tidur dengan
kamu, dan akan tercampurlah anakku itu.
Lalu pulanglah Gajahpara, sesampainya di
rumah Ken Endok
diajak tidur, akan ditemani didalam
pertemuan lagi. Ken Endok
segan terhadap Gajahpara. "Wahai, kakak
Gajahpara putuslah
perkawinanku dengan kakak, saya takut kepada
perkataan Sang
Hyang.
Ia tidak mengijinkan aku berkumpul dengan
kakak lagi."
Kata Gadjahpara: "Adik, bagaimana ini,
apa yang harus
kuperbuat, nah tak berkeberatan saya, kalau
saya harus bercerai
dengan kamu; adapun harta benda pembawaanmu
kembali
kepadamu lagi, adik, harta benda milikku
kembali pula kepadaku
lagi".
Sesudah itu Ken Endok pulang ke Pangkur di
seberang utara, dan
Gajahpara tetap bertempat tinggal di Campara
di seberang selatan.
Belum genap sepekan kemudian matilah
Gajahpara.
Kata orang yang mempercakapkan: "Luar
biasa panas anak
didalam kandungan itu, belum seberapa lama
perceraian orang tua
laki laki perempuan sudah diikuti, orang tua
laki laki segera
meninggal dunia".
Akhirnja sesudah genap bulannya, lahirlah
seorang anak laki-laki,
dibuang di kuburan kanak kanak oleh Ken
Endok. Selanjutnya ada
seorang pencuri, bernama Lembong, tersesat
di kuburan anak anak
itu, melihat benda bernyala, didatangi oleh
Lembong, mendengar
anak menangis, setelah didekati oleh Lembong
itu, nyatalah yang
menyala itu anak yang menangis tadi, diambil
diambin dan dibawa
pulang diaku anak oleh Lembong.
Ken Endok mendengar, bahwa Lembong memungut
seorang
anak, teman Lembonglah yang memberitakan itu
dengan menyebut
nyebut anak, yang didapatinya di kuburan
kanak kanak, tampak
bernyala pada waktu malam hari.
Lalu Ken Endok datang kepadanya, sungguhlah
itu anaknya
sendiri.
Kata Ken Endok: "Kakak Lembong, kiranya
tuan tidak tahu
tentang anak yang tuan dapat itu, itu adalah
anak saya, kakak, jika
kakak ingin tahu riwayatnya, demikianlah:
Dewa Brahma bertemu
dengan saya, jangan tuan tidak memuliakan
anak itu, karena dapat
diumpamakan, anak itu beribu dua berayah
satu, demikian
persamaannya."
Lembong beserta keluarganya semakin cinta
dan senang, lambat
laun anak itu akhirnya menjadi besar, dibawa
pergi mencuri oleh
Lembong.
Setelah mencapai usia sebaya dengan anak
gembala, Ken Angrok
bertempat tinggal di Pangkur.
Habislah harta benda Ken Endok dan harta
benda Lembong,
habis dibuat taruhan oleh Ken Angrok.
Kemudian ia menjadi anak gembala pada yang
dipertuan di
Lebak, menggembalakan sepasang kerbau, lama
kelamaan kerbau
yang digembalakan itu hilang, kerbau
sepasang diberi harga delapan
ribu oleh yang dipertuan di Lebak, Ken Angrok
sekarang dimarahi
oleh orang tua laki laki dan perempuan,
kedua duanya: "Nah
buyung, kami berdua mau menjadi hamba
tanggungan, asal kamu
tidak pergi saja, kami sajalah yang akan
menjalani, menjadi budak
tanggungan pada yang dipertuan di
Lebak".
Akhirnya tidak dihiraukan, Ken Angrok pergi,
kedua orang tuanya
ditinggalkan di Campara dan di Pangkur.
Lalu Ken Angrok pergi mencari perlindungan
di Kapundungan;
Orang yang diungsi dan dimintai tempat
berlindung tak menaruh
belas kasihan.
Ada seorang penjudi permainan Saji berasal
dari Karuman,
bernama Bango Samparan, kalah bertaruhan
dengan seorang
bandar judi di Karuman, ditagih tak dapat
membayar uang, Bango
Samparan itu pergi dari Karuman, berjiarah
ke tempat keramat
Rabut Jalu, mendengar kata dari angkasa,
disuruh pulang ke
Karuman lagi. "Kami mempunyai anak yang
akan dapat
menyelesaikan hutangmu ia bernama Ken
Angrok."
Pergilah Bango Samparan dari Rabut Jalu,
berjalan pada waktu
malam, akhirnya menjumpai seorang anak,
dicocokkan oleh Bango
Samparan dengan petunjuk Hyang, sungguhlah
itu Ken Angrok,
dibawa puIang ke Karuman, diaku anak oleh
Bango Samparan.
Dia itu lalu ketempat berjudi, bandar judi
ditemui oleh Bango
Samparan dilawan berjudi, kalahlah bandar
itu, kembali kekalahan
Bango Samparan, memang betul petunjuk Hyang
itu, Bango
Samparan pulang, Ken Angrok dibawa pulang
oleh Bango
Samparan.
Bango Samparan berbayuh dua orang
bersaudara, Genuk Buntu
nama istri tuanja. dan Tirtaya nama isteri
mudanja.
Adapun nama anak anaknya dari isteri muda,
yalah Panji Bawuk,
anak tengah Panji Kuncang, adiknya ini Panji
Kunal dan Panji
Kenengkung, bungsu seorang anak perempuan
bernama Cucu
Puranti.
Ken Angrok diambil anak oleh Genuk Buntu.
Lama ia berada di
Karuman, tidak dapat sehati dengan semua
para Panji itu, Ken
Angrok berkehendak pergi dari Karuman.
Lalu ia ke Kapundungan bertermu dengan
seorang anak gembala
anak tuwan Sahaja, kepala desa tertua di
Sagenggeng, bernama
Tuwan Tita; ia bersahabat karib dengan Ken
Angrok.
Tuwan Tita dan Ken Angrok sangat cinta
mencinta, selanjutnya
Ken Angrok bertermpat tinggal pada Tuwan
Sahaja, tak pernah
berpisahlah Ken Angrok dan Tuwan Sahaja itu,
mereka ingin tahu
tentang bentuk huruf huruf, pergilah ke
seorang guru di
Sagenggeng, sangat ingin menjadi murid,
minta diajar sastera.
Mereka diberi pelajaran tentang bentuk
bentuk bentuk dan
penggunaan pengetahuan tentang huruf huruf
hidup dan huruf
huruf mati, semua perobahan huruf, juga
diajar tentang sengkalan,
perincian hari tengah bulan, bulan, tahun
Saka, hari enam, hari
lima, hari tujuh, hari tiga, hari dua, hari
sembilan, nama nama
minggu.
Ken Angrok dan Tuwan Tita kedua duanya
pandai diajar
pengetahuan oleh Guru.
Ada tanaman guru, menjadi hiasan halaman,
berupa pohon
jambu, yang ditanamnya sendiri.
Buahnya sangat lebat, sungguh padat karena
sedang musimnya,
dijaga baik tak ada yang diijinkan memetik,
tak ada yang berani
mengambil buah jambu itu.
Kata guru: "Jika sudah masak jambu itu,
petiklah". Ken Angrok
sangat ingin, melihat buah jambu itu, sangat
dikenang kenangkan
buah jambu tadi.
Setelah malam tiba waktu orang tidur sedang
nyenyak
nyenyaknya, Ken Angrok tidur, kini keluarlah
kelelawar dari ubun
ubun Ken Angrok, berbondong bondong tak ada
putusnya, semalam
malaman makan buah jambu sang guru.
Pada waktu paginya buah jambu tampak
berserak serak di
halaman, diambil oleh pengiring guru.
Ketika guru melihat buah jambu rusak
berserakan di halaman itu,
maka rnendjadi susah.
Kata guru kepada murid murid: "Apakah
sebabnya maka jambu
itu rusak." Menjawablah pengiring guru:
"Tuanku rusaklah itu,
karena bekas kelelawar makan jambu
itu".
Kemudian guru mengambil duri rotan untuk
mengurung
jambunya dan dijaga semalam malaman.
Ken Angrok tidur lagi diatas balai balai
sebelah selatan, dekat
tempat daun ilalang kering, di tempat ini
guru biasanya menganyam
atap.
Menurut penglihatan, guru melihat kelelawar
penuh sesak
berbondong bondong, keluar dari ubun ubun
Ken Angrok, semuanya
makan buah jambu guru, bingunglah hati guru
itu, merasa tak
berdaya mengusir kelelawar yang banyak dan
memakan jambunya,
marahlah guru itu, Ken Angrok diusir oleh
guru, kira kira pada waktu
tengah malamguru rnengusirnya.
Ken Angrok terperanjat, bangun terhuyung
huyung, lalu keluar,
pergi tidur di tempat ilalang di luar.
Ketika guru menengoknya keluar, ia melihat
ada benda menyala
di tengah ilalang, guru terperanjat mengira
kebakaran, setelah
diperiksa yang tampak menyala itu adalah Ken
Angrok, ia disuruh
bangun, dan pulang, diajak tidur di dalam
rumah lagi, menurut lah
Ken Angrok pergi t idur di ruang tengah
lagi.
Pagi paginya ia disuruh mengambil buah jambu
oleh guru, Ken
Angrok senang. katanya : "Aku mengharap
semoga aku menjadi
orang, aku akan membalas budi kepada
guru."
Lama kelamaan Ken Angrok telah menjadi
dewasa, menggembala
dengan Tuwan Tita, membuat pondok, bertempat
di sebelah timur
Sagenggeng, di ladang Sanja, dijadikan
tempatnya untuk
menghadang orang yang lalu lintas di jalan,
dengan Tuwan Titalah
temannya.
Adalah seorang penyadap enau di hutan orang
Kapundungan,
mempunyai seorang anak perempuan cantik, ikut
serta pergi ke
hutan, dipegang oleh Ken Angrok, ditemani
didalam pertemuan
didalam hutan, hutan itu bernama Adiyuga.
Makin lama makin
berbuat rusuhlah Ken Angrok, kemudian ia
memperkosa orang yang
melalui jalan, hal ini diberitakan sampai di
negara Daha,
bahwasanya Ken Angrok berbuat rusuh itu,
maka ia ditindak untuk
dilenyapkan oleh penguasa daerah yang
berpangkat akuwu,
bernama Tunggul Ametung.
Pergilah Ken Angrok dari Sagenggêng,
mengungsi ke tempat
keramat. Rabut Gorontol. "Semoga
tergenang didalam air, orang
yang akan melenyapkan saya" kutuk Ken
Angrok, semoga keluar air
dan tidak ada, sehingga terdjadilah tahun
tak ada kesukaran di
Jawa."
Ia pergi dari Rabut Gorontol, mengungsi ke
Wayang, ladang di
Sukamanggala.
Ada seorang pemikat burung pitpit, ia
memperkosa orang yang
sedang rnemanggil manggil burung itu, lalu
menuju ke tempat
keramat Rabut Katu.
Ia heran, melihat tumbuh tumbuhan katu
sebesar beringin, dari
situ lari mengungsi ke Jun Watu, daerah
orang sempurna,
mengungsi ke Lulumbang, bertempat tinggal
pada penduduk desa,
keturunan golongan tentara, bernana Gagak
Uget.
Lamalah ia bertempat tinggal disitu,
memerkosa orang yang
sedang rnelalui jalan.
Ia lalu pergi ke Kapundungan, mencuri di
Pamalantenan,
ketahuanlah ia, dikejar dikepung, tak tahu
kemana ia akan
mengungsi, ia memanjat pohon tal, di tepi
sungai, setelah siang,
diketahui, bahwasanya ia memanjat pohon tal
itu, ditunggu orang
Kepundungan dibawah, sambil dipukulkan
canang, Pohon tal itu
ditebang oleh orang-orang yang mengejarnya.
Sekarang hi menangis, menyebut nyebut Sang
Pentjipta Kebaikan
atas dirinya, akhirnya ia mendengar sabda
dari angkasa, ia disuruh
memotong daun tal, untuk didjadikan sayapnya
kiri kanan, agar
supaya dapat melayang ke seberang timur,
mustahil ia akan mati,
lalu ia memotong daun tal mendapat dua
helai, dijadikan sayapnya
kiri kanan, ia melayang keseberang timur,
dan mengungsi ke
Nagamasa, diikuti dikejar, mengungsilah ia
kedaerah Oran masih
juga dikejar diburu, lari mengungsi ke
daerah Kapundungan, yang
dipertuan di daerah Kapundungan didapatinya
sedang bertanam,
Ken Angrok ditutupi dengan cara diaku anak
oleh yang dipertuan
itu.
Anak yang dipertuan di daerah itu sedang
bertanam, banyaknya
enam orang, kebetulan yang seoarang sedang
pergi mengeringkan
empangan, tinggal 1ima orang; yang sedang
pergi itu digant i
menanam oleh ken Angrok, datanglah yang
mengejarnya, seraya
berkata kepada penguasa daerah: "Wahai,
tuan kepala daerah, ada
seorang perusuh yang kami kejar, tadi
mengungsi kemari."
meanjawablah penguasa daerah itu: "Tuan
tuan, kami tidak
sungguh bohong kami tuan, ia tidak disini;
anak kami enam orang,
yang sedang bertanam ini genap enam orang,
hitunglah sendiri
saja, jika lebih dari enamorang tentu ada
orang lain disini"
Kata orang-orang yang mengejar: "Memang
sungguh, anak
penguasa daerah enam orang, betul juga yang
bertanam itu ada
enamorang." Segera pergilah yang
mengejar.
Kata penguasa daerah kepada ken Angrok:
"Pergilah kamu,
buyung, jangan jangan kembali yang mengejar
kamu, kalau kalau
ada yang membicarakan kata kataku tadi, akan
sia sia kamu
berlindung kepadaku, pergilah mengungsi ke
hutan". Maka kata ken
Angrok: "Semoga berhenti lagilah yang
mengejar, itulah sebabnya
maka Ken Angrok bersembunyi di dalam hutan,
Patangtangan nama
hutan itu.
Selanjutnya ia mengungsi ke Ano, pergi ke
hutan Terwag. ia
semakin merusuh.
Adalah seorang kepala lingkungan daerah Luki
akan melakukan
pekerjaan membajak tanah, berangkatlah ia
membajak ladang,
mempesiapkan. tanahnya untuk ditanami
kacang, membawa nasi
untuk anak yang menggembalakan lembu kepala
Lingkungan itu,
dimasukkin kedalam tabung bambu, diletakkan
diatas onggokan;
sangat asyiklah kepala Lingkungan itu,
selalu membajak ladang
kacang saja, maka dirunduk diambil dan
dicari nasinya oleh Ken
Angrok, tiap tiap hari terdjadi demikian
itu, kepala Lingkungan
bingunglah, karena tiap tiap hari kehilangan
nasi untuk anak
gembalanya, kata kepala Lingkungan:
"Apakah sebabnya maka nasi
itu hilang".
Sekarang nasi anak gembala kepala Lingkungan
di tempat
membajak itu diintai, dengan bersembunyi,
anak gembalanya
disuruh membajak, tak lama kemudian Ken
Angrok datang dari
dalam hutan, maksud Ken Angrok akan
mengambil nasi, ditegor
oleh kepala lingkungan: "Terangnya,
kamulah, buyung, yang
nengambil nasi anak gembalaku t iap tiap
hari itu,"
Ken Angrok menjawab: "Betullah tuan
kepala lingkungan, saya
inilah yang mengambil nasi anak gembala tuan
tiap-tiap hari, karena
saya lapar, tak ada yang kumakan.."
Kata kepala Lingkungan: "Nah buyung.
datanglah ke asramaku,
kalau kamu lapar, mintalah nasi tiap tiap
hari, memang saya tiap
tiap hari mengharap ada tamu datang".
Lalu Ken Angrok diajak pergi ke rumah tempat
tinggal kepala
lingkungan itu, dijamu dengan nasi dan lauk
pauk.
Kata kepala lingkungan kepada isterinya:
"Nini batari, saya
berpesan kepadamu, kalau Ken Angrok datang
kemari, meskipun
saya tak ada di rumah juga, lekas lekas
terima sebagai keluarga,
kasihanilah ia"
Diceriterakan, Ken Angrok tiap tiap hari
datang, seperginya dari
situ menuju ke Lulumbang, ke banjar Kocapet.
Ada seorang kepala lingkungan daerah
Turyantapada, ia pulang
dari Kebalon, bernama Mpu Palot, ia adalah
tukang emas, berguru
kepada kepala desa tertua di Kebalon yang
seakan akan sudah
berbadankan kepandaian membuat barang barang
emas dengan
sesempurna sesempurnanya,
sungguh ia telah sempurna tak bercacad, Mpu
Palot pulang dari
Kebalon, membawa beban seberat lima tahil,
berhenti di
Lulumbang, Mpu Palot itu takut akan pulang
sendirian ke
Turyantapada, karena ada orang dikhabarkan
melakukan perkosaan
di jalan, bernama Ken Angrok.
Mpu Palot tidak melihat orang lain, ia
berjumpa dengan Ken
Angrok di tempat beristirahat.
Kata ken Angrok kepada Mpu Palot: ,,Wahai,
akan pergi
kemanakah tuanku ini,”
Kata Mpu, menjawabnya: ”Saya sedang
bepergian dari Kebalon,
buyung, akan pulang ke Turyantapada, saya
takut di jalan, memikir
mikir ada orang yang melakukan perkosaan
dijalan, bernama Ken
Angrok”.
Tersenyumlah Ken Angrok: ”Nah Tuan, anaknda
ini akan
menghantarkan pulang tuan, anaknda nanti
yang akan melawan
kalau sampai terdjadi berjumpa dengan orang
yang bernama ken
Angrok itu, laju sajalah tuan pulang ke
Turyantapada, jangan
khawatir.”
Mpu di Tuyantapada itu merasa berhutang budi
mendengar
kesanggupan Ken Angrok. Setelah datang di
Turyantapada, Ken
Angrok diajar ilmu kepandaian membuat barang
barang emas, lekas
pandai, tak kalah kalau kesaktiannya
dibandingkan dengan Mpu
Palot, selanjutnya Ken Angrok diaku anak
oleh Mpu Palot, itulah
sebabnya asrama Turyantapada dinamakan
daerah Bapa.
Demikianlah Ken Angrok mengaku ayah kepada
Mpu Palot,
karena masih ada kekurangan Mpu Palot itu,
maka Ken Angrok
disuruhi pergi ke Kebalon oleh Mpu Palot,
disuruh menyempurnakan
kepandaiaan membuat barang barang emas pada
orang tertua di
Kebalon, agar dapat menyelesaikan bahan yang
ditinggalkan oleh
bapak kepala lingkungan. Ken Angrok
berangkat menuju ke
Kebalon, tidak dipercaya Ken Angrok itu oleh
penduduk di Kebalon.
Ken Angrok lalu marah : ”Semoga ada lobang
di tempat orang
yang hidup menepi ini,”
Ken Angrok menikam, orang lari mengungsi
kepada kepala desa
tertua di Kebalon, dipanggil berkumpul
petapa petapa yang berada
di Kebalon semua, para guru Hyang, sampai
pada para punta,
semuanya keluar, membawa pukul perunggu,
bersama sama
mengejar dan memukul Ken Angrok dengan
pukulan perunggu itu,
maksud para petapa itu akan memperlihatkan
kehendaknya untuk
membunuh Ken Angrok.
Segera mendengar suara dari angkasa: ”Jangan
kamu bunuh
orang itu, wahai para petapa, anak itu
adalah anakku, masih jauh
tugasnya di alam tengah ini.” Demikan1ah
suara dari angkasa,
terdengar oleh para petapa.
Maka ditolong Ken Angrok, bangun seperti
sedia kala.
Ken Angrok lalu mengenakan kutuk: ”Semoga
tak ada petapa di
sebelah timur Kawi yang tidak sempurna
kepandaianya membuat
benda-benda emas”.
Ken Angrok pergi dari Kebalon, mengungsi ke
Turyantapada, ke
daerah lingkungan Bapa; sempurnalah
kepandaiannya tentang
emas.
Ken Angrok pergi dari lingkungan Bapa menuju
ke daerah desa
Tugaran, Kepala tertua di Tugaran tidak
menaruh belas
digangguilah orang Tugaran oleh Ken Angrok,
arca penjaga pintu
gerbangnya didukung diletakkan di daerah
lingkungan Bapa,
kemudian dijumpai anak perempuan kepala
tertua di Tugaran itu,
sedang menanam kacang di sawah kering.
Gadis ini lalu ditemani didalam pertemuan
oleh Ken Angrok, lama
kelamaan tanaman kacang menghasilkan
berkampit kampit; inilah
sebabnya pula maka kacang Tugaran benihnya
mengkilat besar dan
gurih.
Ia pergi dari Tugaran pulang ke daerah Bapa
lagi.
Kata ken Angrok: ”Kalau saja kelak menjadi
orang, saya akan
memberi perak kepada yang dipertuan di
daerah Bapa ini. Di kota
Daha dikabarkan tentang Ken Angrok, bahwa ia
merusuh dan
bersembunyi di Turyantapada, dan Daha,
Diadakan tindakan untuk melenyapkannya, ia
dicari oleh orang
orang Daha, pergilah dari daerah Bapa menuju
ke gunung Pustaka.
Ia pergi dari situ, mengungsi ke Limbehan,
kepala tertua di
Limbehan menaruh belas kasihanlah dimintai
perlindungan oleh Ken
Angrok itu, akhirnya Ken Angrok berjiarah ke
tempat keramat Rabut
Gunung Panitikan.
Kepadanya turun petunjuk dewa, disuruh pergi
ke Rabut Gunung
Lejar pada hari Rebo Wage, minggu Wariga
pertama, para dewa
bermusyawarah berrapat;
Demikian ini kata seorang nenek kebayan di
Panitikan: ”Saya
akan membantu menyembunyikan kamu, buyung,
agar supaya tak
ada yang akan tahu, saya akan menyapu di
Gunung Lejar pada
waktu semua dewa dewa bermusyawarah.”
Demikian kata nenek
kebayan di Panit ikan itu.
Ken Angrok lari menuju ke Gunung Lejar, hari
Rebo Wage,
minggu Wariga pertama tiba, ia pergi ke
tempat musyawarah.
Ia bersembunyi di tempat sampah ditimbuni
dengan semak
belukar oleh nenek kebayan Panitikan.
Lalu berbunyilah suara tujuh nada, guntur,
petir, gempa guruh,
kilat, taufan, angin ribut, hujan bukan
masanya, tak ada selatnya
sinar dan cahaya, maka demikian itu ia
mendengar suara tak ada
hentinya, berdengung dengung bergemuruh.
Adapun inti
musyawarah para dewa: ”Yang rnemperkokoh
nusa Jawa, daerah
manalah mestinya.”
Demikianlah kata para dewa, saling
mengemukakan
pembicaraan: ”Siapakah yang pantas menjadi
raja di pulau Jawa,”
demikian pertanyaan para dewa semua.
Menjawablah dewa Guru: ”Ketahuilah dewa dewa
semua, adalah
anakku, seorang manusia yang lahir dari
orang Pangkur, itulah yang
memperkokoh tanah Jawa.”
Kini keluarlah Ken Angrok dari tempat
sampah, dilihat, oleh para
dewa; semua dewa menjetujui, ia direstui bernama
nobatan Batara
Guru, demikian itu pujian dari dewa dewa,
yang bersorak sorai riuh
rendah. Diberi petunjuklah Ken Angrok agar
mengaku ayah kepada
seorang brahmana yang bernama Sang Hyang
Lohgawe. Dia ini
baru saja dari Jambudipa, disuruh menemuinya
di Taloka. Itulah
asal mulanja ada brahmana di sebelah t imur
Kawi.
Pada waktu ia menuju ke Jawa, tidak
berperahu. Hanya
menginjak rumput kekatang tiga potong,
setelah mendarat dari air,
lalu menuju ke daerah Taloka, dang Hyang
Lohgawe berkeliling
mencari Ken Angrok.
Kata Dang Hyang Lohgawe: ”Ada seorang anak,
panjang
tangannya melampaui lutut, tulis tangan
kanannya cakera dan yang
kiri sangka, bernana Ken Angrok. Ia tampak
pada waktu aku
memuja, ia adalah penjelmaan Dewa Wisnu,
pemberitahuannya
dahulu di Jambudwipa, demikian: ”Wahai Dang
Hyang Lohgawe,
hentikan kamu memuja arca Wisnu, aku telah
tak ada disini, aku
telah menjelma pada orang di Jawa, hendaknya
kamu mengikut i
aku di tempat perjudian.”
Tak lama kemudian Ken Angrok didapati di
tempat perjudian,
diamat amati dengan baik baik, betul ia
adalah orang yang tampak
pada Dang Hyang Lohgawe sewaktu ia memuja.
Maka ia ditanyai. Kata Dang Hyang Lohgawe: ”Tentu
buyunglah
yang bernama Ken Angrok, adapun sebabnya aku
tahu kepadamu,
karena kamu tampak padaku pada waktu aku
memuja”.
Menjawablah Ken Angrok: ”Betul tuan, anaknda
bernama Ken
Angrok.”
Dipeluklah ia oleh brahmana itu. Kata Dang
Hyang Lohgawe:
”Kamu saya aku anak, buyung, kutemani pada
waktu kesusahan
dan kuasuh kemana saja kamu pergi.”
Ken Angrok pergi dari Taloka, menuju ke
Tumapel, ikut pula
brahmana itu.
Setelah ia datang di Tumapel, tibalah saat
yang sangat tepat, ia
sangat ingin menghamba pada akuwu. Kepala
daerah di Tumapel
yang bernama Tunggul Ametung.
Dijumpainya dia itu, sedang dihadap oleh
hamba hambanya, Kata
Tunggul Ametung: ”Selamatlah tuanku
brahmana, dimana tempat
asal tuan, saya baru kali ini melihat tuan.”
Menjawablah Dang Hyang Lohgawe: Tuan Sang
Akuwu, saya
baru saja datang dari seberang, saja ini
sangat ingin menghamba
kepada sang akuwu”.
Menjawablah Tunggul Ametung: ”Nah, senanglah
saya, kalau
tuan Dang Hyang dapat bertempat tinggal
dengan tenteram pada
anaknda ini”. Demikianlah kata Tunggul
Ametung.
Lamalah Ken Angrok menghamba kepada Tunggul
Ametung yang
berpangkat akuwu di Tumapel itu,
Kemudian adalah seorang pujangga, pemeluk
agama Budha,
menganut aliran Mahayana, bertapa di ladang
orang Panawijen,
bernama Mpu Purwa.
Ia mempunyai seorang anak perempuan tunggal,
pada waktu ia
belum menjadi pendeta Mahayana.
Anak perempuan itu luar biasa cantik
moleknja bernama Ken
Dedes. Dikabarkan, bahwa ia ayu, tak ada
yang menyamai
kecantikannya itu, termasyur di sebelah
timur Kawi sampai
Tumapel.
Tunggul Ametung mendengar itu, lalu datang
di Panawijen,
langsung menuju ke desa Mpu Purwa, bertemu
dengan Ken Dedes;
Tunggul Ametung sangat senang melihat gads
cantik itu.
Kebetulan Mpu Purwa tak ada di pertapaannya,
sekarang Ken
Dedes sekonyong konyong dilarikan oleh
Tunggu1 Ametung.
Setelah Mpu Purwa pulang dari bepergian, ia
tidak rnenjumpai
anaknya, sudah dilarikan oleh Akuwu di
Tumapel; ia tidak tahu soal
yang sebenarnya, maka Mpu Purwa menjatuhkan
serapah yang
tidak baik: ”Nah, semoga yang melarikan
anakku t idak lanjut
mengenyam kenikmatan, semoga ia ditusuk
keris dan diambil
isterinya, demikian juga orang orang di
Panawidjen ini, semoga
menjadi kering tempat mereka mengambil air,
semoga tak keluar air
kolamnya ini, dosanya: mereka tak mau
memberitahu, bahwa
anakku dilarikan orang dengan paksaan.
Demikian kata Mpu Purwa: ,,Adapun anakku
yang menyebabkan
gairat dan bercahaya terang, kutukku
kepadanya, hanya: semoga ia
mendapat keselamatan dan kebahagiaan besar.”
Demikian kutuk pendeta Mahayana di
Panawidjen.
Setelah datang di Tumapel, ken Dedes
ditemani seperaduar oleh
Tunggul Ametung, Tunggul Ametung tak
terhingga cinta kasihnya,
baharu saja Ken Dedes menampakkan gejala
gejala mengandung,
Tunggul Ametung pergi bersenang senang,
bercengkerama berserta
isterinya ke taman Boboji;
Ken Dedes turun dari kereta kebetulan
disebabkan karena nasib,
tersingkap betisnya, terbuka sampai rahasianya,
lalu kelihatan
bernyala oleh Ken Angrok, terpesona ia
melihat, tambahan pula
kecantikannya memang sempurna, tak ada yang
menyamai
kecantikannya itu, jatuh cintalah Ken
Angrok, tak tahu apa yang
akan diperbuat.
Setelah Tunggul Ametung pulang dari
bercengkerama itu, Ken
Angrok memberitahu kepada Dang Hyang
Lohgawe, berkata: ”Bapa
Dang Hyang, ada seorang perempuan bernyala
rahasianya, tanda
perempuan yang bagaimanakah demikian itu,
tanda buruk atau
tanda baikkah itu”.
Dang Hyang menjawab: ” Siapa itu, buyung”.
Kata Ken Angrok: ” Bapa, memang ada seorang
perempuan,
yang kelihatan rahasianya oleh hamba”.
Kata Dang Hyang: ”Jika ada perempuan yang
demikian, buyung,
perempuan itu namanya: Nawiswari, ia adalah
perempuan yang
paling utama, buyung, berdosa, jika
memperisteri perempuan itu,
akan menjadi maharaja.”
Ke Angrok diam, akhirnya berkata: ”Bapa Dang
Hyang,
perempuan yang bernyala rahasianya itu yalah
isteri sang akuwu di
Tumapel, jika demikian akuwu, saya akan
bunuh dan saya ambil
isterinya, tentu ia akan mati, itu kalau
tuan mengijinkan.”
Jawab Dang Hyang: ” Ya, tentu matilah,
buyung, Tunggul
Ametung olehmu, hanya saja tidak pantas
memberi ijin itu
kepadamu, itu bukan tindakan seorang
pendeta, batasnya adalah
kehendakmu sendiri.”
Kata Ken Angrok: ”Jika demikian, Bapa, hamba
memohon diri
kepada tuan.”
Sang Brahmana menjawab: ”Akan kemana kamu
buyung?”
Ken Angrok menjawab: ” Hamba pergi ke
Karuman, ada seorang
penjudi yang mengaku anak kepada hamba
bernama Bango
Samparan, ia cinta kepada hamba, dialah yang
akan hamba mintai
pertimbangan, mungkin ia akan menyetujuinya.”
Kata Dang Hyang: ”Baiklah kalau demikian,
kamu jangan tinggal
terlalu lama di Karuman, buyung.”
Kata Ken Angrok: ”Apakah perlunya hamba lama
disana.”
Ken Angrok pergi dari Tumapel, sedatangnya
Karuman, bertemu
dengan Bango Samparan. ”Kamu ini keluar dari
mana, lama tidak
datang kepadaku, seperti didalam impian saja
bertemu dengan
kamu ini, lama betul kamu pergi.”
Ken Angrok menjawab: ”Hamba berada di
Tumapel, Bapa,
menghamba pada sang akuwu. Adapun sebabnya
hamba datang
kepada tuan, adalah seorang isteri akuwu,
turun dari kereta,
tersingkap rahasianya, kelihatan bernyala
oleh hamba.
Ada seorang brahmana yang baru saja datang
di Jawa, bernama
Dang Hyang Lohgawe, ia mengaku anak kepada
hamba, hamba
bertanya kepadanya: ”Apakah nama seorang
perempuan yang
menyala rahasianya itu.”
Kata Sang Brahmana: ”Itu yang disebut seorang
perempuan
ardana reswari, sungguh baik tanda itu,
karena siapa saja yang
memperisterinya, akan dapat menjadi
maharaja.”
Bapa Bango, hamba ingin menjadi raja,
Tunggul Ametung akan
hamba bunuh, isterinya akan hamba ambil,
agar supaya anaknda
menjadi raja, hamba minta persetujuan Bapa
Dang Hyang,
Kata Dang Hyang: ”Buyung Angrok, tidak dapat
seorang
brahmana memberi persetujuan kepada orang
yang mengambil
isteri orang lain, adapun batasnya kehendakmu
sendiri.”
Itulah sebabnya hamba pergi ke Bapa Bango,
untuk meminta ijin
kepada bapa, sang akuwu akan hamba bunuh
dengan rahasia, tentu
akuwu mati oleh hamba.”
Menjawablah Bango Samparan: ”Nah, baiklah
kalau demikian,
saya memberi ijin, bahwa kamu akan menusuk
keris kepada
Tunggul Ametung dan mengambil isterinya itu,
tetapi hanya saja,
buyung Angrok, akuwu itu sakti, mungkin
tidak dapat luka, jika
kamu tusuk keris yang kurang bertuah.
Saya ada seorang teman, seorang pandai keris
di Lulumbang,
bernama Mpu Gandring, keris buatannya
bertuah, tak ada orang
sakti terhadap buatannya, tak perlu dua kali
ditusukkan,
hendaknyalah kamu menyuruh membuat keris
kepadanya, jikalau
keris ini sudah selesai dengan itulah
hendaknya kamu membunuh
Tunggul Ametung secara rahasia.”
Demikian pesan Bango Samparan kepada Ken
Angrok.
Kata Ken Angrok: ”Hamba memohon diri, Bapa,
akan pergi ke
Lulumbang.”
Ia pergi dari Karuman, lalu ke Lulumbang,
bertemu dengan
Gandring yang sedang bekerja di tempat membuat
keris. Ken
Angrok datang lalu bertanya: ”Tuankah
barangkali yang bernama
Gandring itu, hendaknyalah hamba dibuatkan
sebilah keris yang
dapat selesai didalam waktu lima bulan, akan
datang keperluan
yang harus hamba lakukan.”
Kata Mpu Gandring: ”Jangan lima bulan itu,
kalau kamu
menginginkan yang baik, kira – kira setahun
baru selesai, akan baik
dan matang tempaannya,”
Ken Angrok berkata: ”Nah, biar bagaimana
mengasahnya, hanya
saja, hendaknya selesai didalam lima bulan.”
Ken Angrok pergi dari Lulumbang, ke Tumapel
bertemu dengan
Dang Hyang Lohgawe yang bertanya kepada Ken
Angrok: ”Apakah
sebabnya kamu lama di Tumapel itu.”
Sesudah genap lima bulan, ia ingat kepada
perjanjiannya, bahwa
ia menyuruh membuatkan keris kepada Mpu
Gandring.
Pergilah ia ke Lulumbang, bertemu dengan Mpu
Gandring yang
sedang mengasah dan memotong motong keris
pesanan Ken
Angrok.
Kata Ken Angrok: ”Manakah pesanan hamba
kepada tuan
Gandring.”
Menjawablah Gandring itu: ”Yang sedang saya
asah ini, buyung
Angrok.”
Keris diminta untuk dilihat oleh Ken Angrok.
Katanya dengan agak marah: ”Ah tak ada
gunanya aku
menyuruh kepada tuan Gandring ini, bukankah
belum selesai diasah
keris ini, memang celaka, inikah rupanya
yang tuan kerjakan selama
lima bulan itu.”
Menjadi panas hati Ken Angrok, akhirnya
ditusukkan kepada
Gandring keris buatan Gandring itu.
Lalu diletakkan pada lumpang batu tempat air
asahan, lumpang
berbelah menjadi dua, diletakkan pada
landasan penempa, juga ini
berbelah menjadi dua.
Kini Gandring berkata: ”Buyung Angrok, kelak
kamu akan mati
oleh keris itu, anak cucumu akan mati karena
keris itu juga, tujuh
orang raja akan mati karena keris itu.”
Sesudah Gandring berkata demikian lalu
meninggal.
Sekarang Ken Angrok tampak menyesal karena
Gandring
meninggal itu, kata Ken Angrok: ”Kalau aku
menjadi orang, semoga
kemulianku melimpah, juga kepada anak cucu
pandai keris di
Lulumbang.”
Lalu pulanglah Ken Angrok ke Tumapel.
Ada seorang kekasih Tunggul Ametung, bernama
Kebo Hijo,
bersahabat dengan Ken Angrok, cinta
mencintai.
Pada waktu itu Kebo Hijo melihat bahwa Ken
Angrok menyisip
keris baru, berhulu kayu cangkring masih
berduri, belum diberi
perekat, masih kasar, senanglah Kebo Hijo
melihat itu.
Ia berkata kepada Ken Angrok: ” Wahai kakak,
saya pinjam keris
itu.”
Diberikan oleh Ken Angrok, terus dipakai
oleh Kebo Hijo, karena
senang memakai melihatnya itu.
Lamalah keris Ken Angrok dipakai oleh Kebo
Hijo, tidak orang
Tumapel yang tidak pernah melihat Kebo Hijo
menyisip keris baru
dipinggangnya.
Tak lama kemudian keris itu dicuri oleh Ken
Angrok dan dapat
diambil oleh yang mencuri itu.
Selanjutnya Ken Angrok pada waktu malam hari
pergi kedalam
rumah akuwu, saat itu baik, sedang sunyi dan
orang orang tidur,
kebetulan juga disertai nasib baik , ia
menuju ke peraduan Tunggul
Ametung, tidak terhalang perjalanannya,
ditusuklah Tunggul
Ametung oleh Ken Angrok, tembus jantung
Tunggul Ametung, mati
seketika itu juga. Keris buatan Gandring dit
inggalkan dengan
sengaja.
Sekarang sesudah pagi pagi keris yang
tertanam didada Tunggul
Ametung diamat amati orang, dan oleh orang
yang tahu keris itu
dikenal keris Kebo Hijo yang biasa dipakai
tiap tiap hari kerja.
Kata orang Tumapel semua: ”Terangnya Kebo
Hijolah yang
membunuh Tunggul Ametung dengan secara
rahasia, karena
memang nyata kerisnya masih tertanam didada
sang akuwu di
Tumapel.
Kini Kebo Hijo ditangkap oleh keluarga
Tunggul Ametung, ditusuk
dengan keris buatan Gandring, meninggallah
Kebo Hijo.
Kebo Hijo mempunyai seorang anak, bernama
Mahisa Randi,
sedih karena ayahnya meninggal, Ken Angrok
menaruh belas
kasihan kepadanya, kemana mana anak ini
dibawa, karena Ken
Angrok luar biasa kasih sayangnya terhadap
Mahisa Randi.
Selanjutnya Dewa memang telah menghendaki,
bahwasanya Ken
Angrok memang sungguh sungguh menjadi jodoh
Ken Dedes,
lamalah sudah mereka saling hendak
menghendaki, tak ada orang
Tumapel yang berani membicarakan semua
tingkah laku Ken
Angrok, demikian juga semua keluarga Tunggul
Ametung diam, tak
ada yang berani mengucap apa apa, akhirnya
Ken Angrok kawin
dengan Ken Dedes.
Pada waktu ditinggalkan oleh Tunggul
Ametung, dia ini telah
mengandung tiga bulan, lalu dicampuri oleh
Ken Angrok.
Ken Angrok dan Ken Dedes sangat cinta
mencintai. Telah lama
perkawinannya.
Setelah genap bulannya Ken Dedes melahirkan
seorang anak laki
laki, lahir dari ayah Tunggul Ametung,
diberi nama Sang Anusapati
dan nama kepanjangannya kepanjiannya Sang
Apanji Anengah.
Setelah lama perkawinan Ken Angrok dan Ken
Dedes itu, maka
Ken Dedes dari Ken Angrok melahirkan anak
laki laki, bernama
Mahisa Wonga Teleng, dan adik Mahisa Wonga
Teleng bernama
Sang Apanji Saprang, adik panji Saprang juga
laki laki bernama
Agnibaya, adik Agnibaya perempuan bernama
Dewi Rimbu, Ken
Angrok dan Ken Dedes mempunyai empat orang
anak.
Ken Angrok mempunyai isteri muda bernama Ken
Umang, ia
melahirkan anak laki laki bernama panji
Tohjaya, adik panji Tohjaya,
bernama Twan Wregola, adik Twan Wregola
perempuan bernama
Dewi Rambi.
Banyaknya anak semua ada 9 orang, laki laki
7 orang,
perempuan 2 orang.
Sudah dikuasailah sebelah t imur Kawi,
bahkan seluruh daerah
sebelah timur Kawi itu, semua takut terhadap
Ken Angrok, mulailah
Ken Angrok menampakkan keinginannya untuk
menjadi raja, orang
orang Tumapel semua senang, kalau Ken Angrok
menjadi raja itu.
Kebetulan disertai kehendak nasib, raja
Daha, yalah raja
Dandhang Gendis, berkata kepada para
bujangga yang berada di
seluruh wilayah Daha, katanya: ”Wahai, tuan
tuan bujangga
pemeluk agama Siwa dan agama Budha, apakah
sebabnya tuan
tuan tidak menyembah kepada kami, bukanlah
kami ini semata
mata Batara Guru.”
Menjawablah para bujangga di seluruh daerah
negara Daha:
”Tuanku, semenjak jaman dahulu kala tak ada
bujangga yang
menyembah raja.” Demikianlah kata bujangga
semua.
Kata Raja Dandhang Gendis: ”Nah, jika
semenjak dahulu kala tak
ada yang menyembah, sekarang ini
hendaknyalah kami tuan
sembah, jika tuan tuan tidak tahu kesaktian
kami, sekarang akan
kami beri buktinya.”
Kini Raja Dandhang Gendis mendirikan tombak,
batang tombak
itu dipancangkan kedalam tanah, ia duduk di
ujung tombak, seraya
berkata: ”Nah, tuan tuan bujangga, lihatlah
kesakt ian kami.”
Ia tampak berlengan empat, bermata tiga,
semata mata Batara
Guru perwujudannya, para bujangga di seluruh
daerah Daha
diperintahkan menyembah, semua tidak ada
yang mau, bahkan
menentang dan mencari perlindungan ke
Tumapel, menghamba
kepada Ken Angrok.
Itulah asal mulanya Tumapel tak mau tahu
negara Daha.
Tak lama sesudah itu Ken Angrok direstui
menjadi raja di
Tumapel, negaranya bernama Singasari, nama
nobatannya Sri
Rajasa Batara Sang Amurwabumi, disaksikan
oleh para bujangga
pemeluk agama Siwa dan Budha yang berasal
dari Daha, terutama
Dang Hyang Lohgawe, ia diangkat menjadi
pendeta istana, adapun
mereka yang menaruh belas kasihan kepada Ken
Angrok, dahulu
sewaktu ia sedang menderita, semua
dipanggil, diberi perlindungan
dan diberi belas balasan atas budi jasanya,
misalnya Bango
Samparan, tidak perlu dikatakan tentang
kepala lingkungan
Turyantapada, dan anak anak pandai besi
Lulumbang yang bernama
Mpu Gandring, seratus pandai besi di
Lulumbang itu diberi hak
istimewa di dalam lingkungan batas jejak
bajak beliung cangkulnya.
Adapun anak Kebo Hijo disamakan haknya
dengan anak Mpu
Gandring.
Anak laki laki Dang Hyang Lohgawe, bernama
Wangbang
Sadang, lahir dari ibu pemeluk agama Wisnu,
dikawinkan dengan
anak Bapa Bango yang bernama Cucu Puranti,
demikianlah int i
keutamaan Sang Amurwabumi. Sangat
berhasillah negara Singasari,
sempurna tak ada halangan.
Telah lama terdengar berita, bahwa Ken
Angrok sudah menjadi
raja, diberitahulah raja Dandhang Gendis, bahwa
Ken Angrok
bermaksud akan menyerang Daha.
Kata Raja Dandhang Gendis: ”Siapakah yang
akan mengalahkan
negara kami ini, barangkali baru kalah,
kalau Batara Guru turun dari
angkasa, mungkin baru kalah.”
Diberi tahulah Ken Angrok, bahwa raja
Dandhang Gedis berkata
demikian.
Kata Sang Amurwabumi: ”Wahai, para bujangga
pemeluk Siwa
dan Budha, restuilah kami mengambil nama
nobatan Batara Guru.”
Demikianlah asal mulanya ia bernama nobatan
Batara Guru,
direstui oleh bujangga brahmana dan resi.
Selanjutnya ia lalu pergi menyerang Daha.
Raja Dandhang
Gendis mendengar, bahwa Sang Amurwabumi di
Tumapel datang
menyerang Daha, Dandhang Gendis berkata: ”Kami
akan kalah,
karena Ken Angrok sedang dilindungi Dewa.”
Sekarang tentara Tumapel bertempur melawan
tentara Daha,
berperang disebelah utara Ganter, bertemu
sama sama berani,
bunuh membunuh, terdesaklah tentara Daha.
Adik Raja Dandhang Gendis gugur sebagai
pahlawan, ia bernama
Mahisa Walungan, bersama sama dengan
menterinya yang perwira,
bernama Gubar Baleman.
Adapun sebabnya itu gugur, karena diserang
bersama sama oleh
tentara Tumapel, yang berperang laksana
banjir dari gunung.
Sekarang tentara Daha terpaksa lari, karena
yang menjadi inti
kekuatan perang telah kalah. Maka tentara
Daha bubar seperti
lebah, lari terbirit birit meninggalkan
musuh seperti kambing,
mencabut semua payung payungnya, tak ada
yang mengadakan
perlawanan lagi.
Maka Raja Dandhang Gendis mundur dari
pertempuran,
mengungsi ke alam dewa, bergantung gantung
di angkasa, beserta
dengan kuda, pengiring kuda, pembawa payung,
dan pembawa
tempat sirih, tempat air minum, tikar,
semuanya naik ke angkasa.
Sungguh kalah Daha oleh Ken Angrok.
Dan adik adik Sang Dandhang Gendis, yalah:
Dewi Amisam, Dewi
Hasin, dan Dewi Paja diberi tahu, bahwa raja
Dandhang Gendis
kalah berperang, dan terdengar, ia telah di
alam dewa, bergantung
gantung di angkasa, maka tuan dewi ketiga
tiganya itu menghilang
bersama sama dengan istananya juga.
Sesudah Ken Angrok menang terhadap musuh,
lalu pulang ke
Tumapel, dikuasailah tanah Jawa olehnya, ia
sebagai raja telah
berhasil mengalahkan Daha pada tahun saka :
1144.
Lama kelamaan ada berita, bahwa sang
Anusapati, anak tunggal
Tunggul Ametung bertanya tanya kepada
pengasuhnya.
”Hamba takut terhadap ayah tuan”, demikian
kata pengasuh itu:
”Lebih baik tuan berbicara dengan ibu tuan”.
Karena tidak mendapat keterangan, Nusapati
bertanya kepada
ibunya: ”Ibu, hamba bertanya kepada tuan,
bagaimanakah jelasnya
ini?” Kalau ayah melihat hamba, berbeda
pandangannya dengan
kalau ia melihat anak anak ibu muda, semakin
berbeda pandangan
ayah itu.”
Sungguh sudah datang saat Sang Amurwabumi.
Jawab Ken
Dedes: ”Rupa rupanya telah ada rasa tidak
percaya, nah, kalau
buyung ingin tahu, ayahmu itu bernama
Tunggul Ametung, pada
waktu ia meninggal, saya telah mengandung
tiga bulan, lalu saya
diambil oleh Sang Amurwabumi.:
Kata Nusapati: ”Jadi terangnya, ibu, Sang
Amurwabumi itu bukan
ayah hamba, lalu bagaimana tentang
meninggalnya ayah itu?”
”Sang Amurwabumi buyung yang membunuhnya.”
Diamlah Ken Dedes, tampak merasa membuat
kesalahan karena
memberi tahu soal yang sebenarnya kepada
anaknya.
Kata Nusapati: ”Ibu, ayah mempunyai keris
buatan Gandring. Itu
hamba pinta, ibu.”
Diberikan oleh Ken Dedes. Sang Anusapati
memohon diri pulang
ke tempat t inggalnya.
Adalah seorang hambanya berpangkat
pengalasan di Batil,
dipanggil oleh Nusapati, disuruh membunuh
Ken Angrok, diberi keris
buatan Gandring, agar supaya dipakainya
untuk membunuh Sang
Amurwabumi, orang di Batil itu disanggupi
akan diberi upah oleh
Nusapati.
Berangkatlah orang Batil masuk kedalam
istana, dijumpai Sang
Amurwabumi sedang bersantap, ditusuk dengan
segera oleh orang
Batil. Waktu ia dicidera, yalah: Pada hari
Kamis Pon, minggu
Landhep, saat ia sedang makan, pada waktu
senjakala, matahari
telah terbenam, orang telah menyiapkan
pelita pada tempatnya.
Sesudah Sang Amurwabumi mati, maka larilah
orang Batil,
mencari perlindungan pada Sang Anusapati,
kata orang Batil:
”Sudah wafatlah ayah tuan oleh hamba.”
Segera orang Batil ditusuk
oleh Nusapati.
Kata orang Tumapel: ”Ah, Batara diamuk oleh
pengalasan di
Batil, Sang Amurwabumi wafat pada tahun saka
1168, dicandikan di
Kagenengan.
II. Sesudah demikian, sang Anusapati
mengganti menjadi raja, ia
menjadi raja pada tahun Saka 1170.
Lama kelamaan diberitakan kepada Raden
Tohjaya, anak Ken
Angrok dari isteri muda, sehingga ia
mendengar segala tindakan
Anusapati, yang mengupahkan pembunuhan Sang
Amurwabumi
kepada orang Batil.
Sang Apanji Tohjaya tidak senang tentang
kematian ayahnya itu,
meikir mikir mencari cara untuk membalas,
agar supaya ia dapat
membunuh Anusapati.
Anusapati tahu, bahwasanya ia sedang
direncana oleh Panji
Tohjaya, berhati hatilah Sang Anusapati,
tempat tidurnya dikelilingi
kolam, dan pintunya selalu dijaga orang,
sentosa dan teratur.
Setelah lama kemudian Sang Apanji Tohjaya
datang menghadap
dengan membawa ayam jantan pada Batara
Anuspati.
Kata Apanji Tohjaya: ”Kakak, ada keris ayah
buatan Gandring, itu
hamba pinta dari tuan.”
Sungguh sudah tiba saat Batara Anuspati.
Diberikan keris buatan
Gandring oleh Sang Anusapati, diterima oleh
Apanji Tohjaya,
disisipkan dipinggangnya, lalu kerisnya yang
dipakai semula,
diberikan kepada hambanya.
Kata Apanji Tohjaya: ”Baiklah, kakak mari
kita menyiapkan ayam
jantan untuk segera kita ajukan di
gelanggang.”
Menjawablah Sang Adipati: ”Baiklah, adik.”
Selanjutnya ia
menyuruh kepada hamba pemelihara ayam
mengambil ayam jantan,
kata Anusapati: ”Nah, adik mari mari kita
sabung segera.”, ”Baiklah”
kata Apanji Tohjaya.
Mereka bersama sama memasang taji sendiri –
sendiri, telah
sebanding, Sang Anusapati asyik sekali.
Sungguh telah datang saat berakhirnya, lupa
diri, karena selalu
asyik menyabung ayamnya, ditusuk keris oleh
Apanji Tohjaya.
Sang Anusapati wafat pada tahun Saka 1171,
dicandikan di Kidal.
III. Apanji Tohjaya menjadi raja di Tumapel.
Sang Anusapati mempunyai seorang anak laki
laki bernama
Ranggawuni, hubungan keluarganya dengan
Apanji Tohjaya adalah
kemenakan.
Mahisa Wonga Teleng, saudara Apanji Tohjaya,
sama ayah lain
ibu, mempunyai anak laku laki, yalah: Mahisa
Campaka, hubungan
keluarganya dengan Apanji Tohjaya adalah
kemenakan juga.
Pada waktu Apanji Tohjaya duduk diatas
tahta, disaksikan oleh
orang banyak, dihadap oleh menteri menteri,
semua terutama
Pranaraja, Ranggawuni beserta Kebo Campak
juga menghadap.
Kata Apanji Tohjaya: ”Wahai, menteri menteri
semua, terutama
Pranaraja, lihatlah kemenakanku ini, luar
biasa bagus dan tampan
badannya. Bagaimana rupa musuhku diluar
Tumapel ini, kalau
dibandingkan dengan orang dua itu,
bagaimanakah mereka, wahai
Pranaraja.”
Pranaraja menjawab sambil menyembah: ”Betul
tuanku, seperti
titah tuanku itu, bagus rupanya dan sama
sama berani mereka
berdua, hanya saja tuanku, mereka dapat
diumpamakan sebagai
bisul di pusat perut tak urung akan
menyebabkan mati akhirnya.”
Paduka batara itu lalu diam, sembah
Pranaraja makin terasa,
Apanji Tohjaya menjadi marah, lalu ia
memanggil Lembu Ampal,
diberi perintah untuk melenyapkan kedua
bangsawan itu.
Kata Apanji Tohjaya kepada Lembu Ampal: ”Jika
kamu tidak
berhasil melenyapkan dua orang kesatriya
itu, kamulah yang akan
kulenyapkan.”
Pada waktu Apanji Tohjaya, memberi perintah
kepada Lembu
Ampal melenyapkan dua bangsawan itu, ada
seorang brahmana
yang sedang melakukan upacara agama sebagai
pendeta istana
untuk Apanji Tohjaya. Dang Hyang itu
mendengar, bahwa kedua
bangsawan itu disuruh melenyapkan. Sang
Brahmana menaruh
belas kasihan kepada dua bangsawan, lalu
memberi tahu: ”Lembu
Ampal diberi perintah untuk melenyapkan tuan
berdua, kalau tuan
kalian dapat lepas dari Lembu Ampal ini,
maka Lembu Ampallah
yang akan dilenyapkan oleh Seri Maharaja.”
Kedua bangsawan itu berkata: ”Wahai Dang
Hyang, bukanlah
kami t idak berdosa.”
Sang Brahmana menjawab: ”Lebih baik tuan
bersembunyi
dahulu.”
Karena masih dibimbangkan, kalau kalau
brahmana itu bohong,
maka kedua bangsawan itu pergi ke Apanji
Patipati.
Kata bangsawan itu: ”Panji Patipati, kami
bersembunyi di dalam
rumahmu, kami mengira, bahwa kami akan
dilenyapkan oleh Batara,
kalau memang akan terjadi kami dilenyapkan
itu, kami tidak ada
dosa.”
Setelah itu maka Apanji Patipati mencoba
mendengar dengarkan:
”Tuan, memang betul, tuan akan dilenyapkan,
Lembu Ampal lah
yang mendapat tugas.”
Keduanya makin baik cara bersembunyi,
dicari, kedua duanya tak
dapat diketemukan.
Didengar dengarkan, kemana gerangan mereka
pergi, tak juga
dapat terdengar.
Maka Lembu Ampal didakwa bersekutu dengan
kedua
bangsawan itu oleh Batara. Sekarang Lembu
Ampal dit indak untuk
dilenyapkan, larilah ia, bersembunyi di
dalam rumah tetangga Apanji
Patipati.
Lembu Ampal mendengar, bahwa kedua bangsawan
berada di
tempat tinggal Apanji Pati Pati.
Lembu Ampal pergi menghadap kedua bangsawan,
kata Lembu
Ampal kepada kedua bangsawan itu: ”Hamba
berlindung kepada
tuan hamba, dosa hamba: disuruh melenyapkan
tuan oleh Batara.
Sekarang hamba minta disumpah, kalau tuan
tidak percaya, agar
supaya hamba dapat menghamba paduka tuan
dengan tenteram.”
Setelah disumpah dua hari kemudian Lembu
Ampal menghadap
kepada kedua bangsawan itu: ”Bagaimanakah
akhirnya tuan, tak
ada habis habisnya terus menerus bersembunyi
ini, sebaiknya
hamba akan menusuk orang Rajasa, nanti kalau
mereka sedang
pergi kesungai.”
Pada waktu sore Lembu Ampal menusuk orang
Rajasa, ketika
orang berteriak, ia lari kepada orang
Sinelir.
Kata orang Rajasa: ”Orang Sinelir menusuk
orang Rajasa. Kata
orang Sinelir: ”Orang Rajasa menusuk orang
Sinelir.”
Akhirnya orang orang Rajasa dan orang orang
Sinelir itu
berkelahi, bunuh membunuh sangat ramainya,
dipisah orang dari
istana, tidak mau memperhatikan. Apanji
Tohjaya marah, dari kedua
golongan ada yang dihukum mati.
Lembu Ampal mendengar, bahwa dari kedua
belah pihak ada
yang dilenyapkan, maka Lembu Ampal pergi ke
Orang Rajasa.
Kata Lembu Ampal: ”Kalau kamu ada yang akan
dilenyapkan
hendaknyalah kamu mengungsi kepada kedua
bangsawan, karena
kedua bangsawan itu masih ada.”
Orang orang Rajasa menyatakan
kesanggupannya: ”Nah,
bawalah kami hamba hamba ini menghadapnya,
wahai Lembu
Ampal.”
Maka ketua orang Rajasa dibawa menghadap
kepada kedua
bangsawan.
Kata orang Rajasa itu: ”Tuanku, hendaknyalah
tuan lindungi
hamba hamba Rajasa ini, apa saja yang
menjadi tuan t itah,
hendaknyalah hamba tuan sumpah, kalau kalau
tidak sungguh
sungguh kami menghamba ini, kalau tidak
jujur penghambaan kami
ini.”
Demikian pula orang Sinelir, dipanggilah
ketuanya, sama
kesanggupannya dengan orang Rajasa,
selanjutnya kedua belah
pihak telah didamaikan dan telah disumpah
semua, lalu dipesan:
”Nanti sore hendaknya kamu datang kemari,
dan bawalah temanmu
masing masing, hendaknyalah kamu memberontak
meluka lukai di
dalam istana.”
Orang Sinelir dan orang Rajasa bersama sama
memohon diri.
Setelah sore hari orang orang dari kedua
belah pihak datang
membawa teman temannya, bersama sama
menghadap kepada
kedua bangsawan, mereka keduanya saling
mengucap selamat
datang, lalu berangkat menyerbu
kedalamistana.
Apanji Tohjaya sangat terperanjat, lari
terpisah, sekali gus kena
tombak. Sesudah huru hara berhenti, ia
dicari oleh hamba
hambanya, diusung dan dibawa lari ke
Katanglumbang. Orang yang
mengusung lepas cawatnya, tampak
belakangnya.
Kata Apanji Tohjaya kepada orang yang
memikul itu: ”Perbaikilah
cawatmu, karena tampak belakangmu.”
Adapun sebabnya ia tidak lama menjadi raja
itu, karena pantat
itu.
Setelah datang di Lumbangkatang, wafatlah
ia, lalu dicandikan di
Katanglumbang, ia wafat pada tahun Saka
1172.
IV. Kemudian Ranggawuni menjadi raja, ia
dengan Mahisa
Campaka dapat diumpamakan seperti dua ular
naga didalam satu
liang.
Ranggawuni bernama nobatan Wisnuwardana,
demikanlah
namanya sebagai raja, Mahisa Campaka menjadi
Ratu Angabhaya,
bernama nobatan Batara Narasinga. Sangat
rukunlah mereka, tak
pernah berpisah.
Batara Wisnuwardana mendirikan benteng di
Canggu sebelah
utara pada tahun Saka 1193.
Ia berangkat menyerang Mahibit, untuk
melenyapkan Sang
Lingganing Pati. Adapun sebabnya Mahibit
kalah, karena
kemasukkan orang yang bernama Mahisa
Bungalan.
Sri Ranggawuni menjadi raja lamanya 14
tahun, ia wafat pada
tahun 1194, dicandikan di Jajagu.
Mahisa Campaka wafat, dicandikan di Kumeper,
sebagian abunya
dicandikan di Wudi Kuncir.
V. Sri Ranggawuni meninggalkan seorang anak
laki laki, bernama
Sri Kertanegara, Mahisa Campaka meninggalkan
seorang anak laki
laki juga, bernama Raden Wijaya. Kertanegara
menjadi Raja,
bernama nobatan Batara Siwabuda.
Adalah seorang hambanya, keturunan orang
tertua di Nangka,
bernama Banyak Wide, diberi sebutan Arya
Wiraraja, rupa rupanya
tidak dipercaya, dijatuhkan, disuruh menjadi
Adipati di Sungeneb,
bertempat tinggal di Madura sebelah timur.
Ada Patihnya, pada waktu ia baru saja naik
keatas tahta
kerajaan, bernama Mpu Raganata, ini selalu
memberi nasehat untuk
keselamatan raja, ia tidak dihiraukan oleh
Sri Kertanegara,
karenanya itu Mpu Raganata lalu meletakkan
jabatan tak lagi
menjadi Patih, diganti oleh Kebo Tengah Sang
Apanji Aragani.
Mpu Raganata lalu menjadi Adiyaksa di
Tumapel.
Sri Kertanegara pada waktu memerintah,
melenyapkan seorang
kelana bernama Baya. Sesudah kelana itu
mati, ia memberi perintah
kepada hamba rakyatnya, untuk pergi
menyerang Melayu.
Apanji Aragani menghantarkan, sampai di
Tuban ia kembali,
sedatangnya di Tumapel Sang Apanji Aragani
mempersembahkan
makanan tiap tiap hari, raja Kertanegara
bersenang senang.
Ada perselisihannya dengan raja Jaya Katong,
raja di Daha, ini
menjadi musuh raja Kertanegara, karena
lengah terhadap usaha
musuh yang sedang mencari kesempatan dan
ketepatan waktu, ia
tidak memikir kesalahannya.
Banyak Wide berumur 40 tahun pada peristiwa
penyerangan
Melayu itu, ia berteman dengan raja Jaya
Katong, Banyak Wide
yang bergelar Arya Wiraraja itu dari Madura,
mengadakan
hubungan dan berkirim utusan.
Demikian juga raja Jaya Katong berkirim utusan
ke Madura.
Wiraraja berkirim surat kepada raja Jaya
Katong, bunyi surat:
”Tuanku, patik baginda bersembah kepada
paduka raja, jika paduka
raja bermaksud akan berburu di tanah lapang
lama, hendaknyalah
paduka raja sekarang pergi berburu,
ketepatan dan kesempatan
adalah baik sekali, tak ada bahaya, tak ada
harimau, tak ada
banteng, dan ularnya, durinya, ada harimau,
tetapi tak bergigi.”
Patih tua Raganata itu yang dinamakan
harimau tak bergigi,
karena sudah tua.
Sekarang raja Jaya Katong berangkat menyerang
Tumapel.
Tentaranya yang datang dari sebelah utara
Tumapel terdiri dari
orang orang yang tidak baik, bendera dan
bunyi bunyian penuh,
rusaklah daerah sebelah utara Tumapel,
mereka yang melawan
banyak yang menderita luka. Tentara Daha
yang melalui jalan utara
itu berhenti di Memeling.
Batara Siwa Buda senantiasa minum minuman
keras, diberi tahu
bahwa diserang dari Daha, ia tidak percaya,
selalu mengucapkan
kata: ”Bagaimana dapat raja Jaya Katong
demikian terhadap kami,
bukanlah ia telah baik dengan kami.”
Setelah orang membawa yang menderita luka,
barulah ia
percaya.
Sekarang Raden Wijaya ditunjuk untuk
berperang melawan
tentara yang datang dari sebelah utara
Tumapel, disertai oleh para
arya terkemuka: Banyak Kapuk, Rangga Lawe,
Pedang Sora, Dangdi
Gajah Pangon, anak Wiraraja yang bernama
Nambi, Peteng dan
Wirot, semua prajurit baik, melawan tentara
Daha di bagian utara
itu, dikejar diburu oleh Raden Wijaya.
Kemudian turunlah tentara besar besar dari
Daha yang datang
dari tepi sungai Aksa, menuju ke Lawor,
mereka ini tak
diperbolehkan membikin gaduh, tidak membawa
bendera, apalagi
bunyi bunyian, sedatangnya di Sidabawana
langsung menuju
Singasari.
Yang menjadi prajurit utama dari tentara
Daha sebelah selatan
ini, yalah: Patih Daha Kebo Mundarang, Pudot
dan Bowong.
Ketika Batara Siwa Buda sedang minum minuman
keras bersama
sama dengan patih, maka pada waktu itu ia
dikalahkan, semua
gugur, Kebo Tengah yang melakukan
pembalasan, meninggal di
Manguntur.
VI. Raden Wijaya yang diceritakan ke utara
tersebut diberi tahu,
bahwa Batara Siwa Buda wafat, karena tentara
Daha turun dari
selatan, patih tua juga telah gugur, semua
mengikuti jejak batara.
Segera Raden Wijaya kembali, beserta hamba
hambanya, berlari
lari ke Tumapel, melakukan pembalasan, tidak
berhasil, bahkan
terbalik, dikejar, diburu oleh Kebo
Mundarang, Raden Wijaya naik
keatas, mengungsi di Sawah Miring, maksud
Kebo Mundarang akan
menusuknya dengan tombak, Raden Wijaya
menyepak tanah bekas
di tenggala, dada Kebo Mundarang sampai
mulanya penuh lumpur,
ia mundur sambil berkata: ”Aduh, memang
sungguh dewalah
tuanku ini.”
Sekarang Raden Wijaya membagi bagi cawat
kain ikat berwarna
merah, diberikan kepada hamba hambanya,
masing masing orang
mendapat sehelai, ia bertekad untuk
mengamuk.
Yang mendapat bagian, yalah: Sora, Rangga
Lawe, Pedang,
Dangdi dan Gajah Sora, segera menyerang,
banyak orang Daha
yang mati.
Kata Sora: ”Sekarang ini, tuan, hendaknyalah
menyerang,
sekarang baik kesempatan dan saatnya.”
Raden Wijaya lekas lekas menyerang, semakin
banyak orang
Daha yang mati, mereka lalu mundur, diliputi
malam, akhirnya
berkubu.
Pada waktu sunyi orang telah tidur, dikejar
dan diamuk lagi oleh
Raden Wijaya, sekarang orang orang Daha
bubar, banyak yang
tertusuk oleh tombak temannya sendiri,
repotlah orang prang Daha
itu larinya.
Batara Siwa Buda mempunyai dua orang anak
perempuan,
mereka ini akan dikawinkan dengan Raden
Wijaya, demikianlah
maksud Batara Siwa Buda itu, kedua duanya
ditawan oleh orang
Daha, puteri yang muda berpisah dengan
puteri yang tua, tidak
menjadi satu arah larinya, berhubung dengan
kerepotan orang
Daha, disebabkan Raden Wijaya mengamuk itu.
Pada waktu malam tampak api unggun orang
Daha bernyala dan
oleh Raden Wijaya, yang segera dikenal,
bahwa itu adalah puteri
yang tua. Lekas lekaslah diambil oleh Raden
Wijaya, lalu berkata:
”Nah, Sora, marilah mendesak mengamuk lagi,
agar dapat bertemu
dengan puteri muda.”
Sora berkata: ”Janganlah tuan, bukankah adik
tuan yang tua
sudah tuan temukan, berapakah jumlah hamba
tuanku sekarang
ini.”
Jawab Raden Wijaya: ”Justru karena itu.”
Maka Sora berkata lagi: ”Lebih baik tuanku
mundur saja, karena
kalau memaksa mengamuk, seandainya berhasil
itu baik, kalau adik
tuanku yang muda dapat ditemukan, kalau
tidak dapat ditemukan,
kita akan seperti anai anai menyentuh
pelita.”
Sekarang mereka mundur, puteri bangsawan
didukung, semalam
malaman mereka berjalan ke utara, keesokan
harinya dikejar oleh
orang Daha, terkejar disebelah selatan
Talaga Pager.
Orang orangnya ganti berganti tinggal
dibelakang, untuk
berperang, menghentikan orang Daha.
Gajah Pagon kena tombak tembus pahanya,
tetapi masih dapat
berjalan.
Kata Raden Wijaya: ”Gajah Pagon, masih
dapatkah kamu
berjalan, kalau tidak dapat, mari kita
bersama sama mengamuk.”
”masih dapatlah hamba, tuanku, hanya saja
hendaknya perlahan
lahan.”
Orang orang Daha tidak begitu giat
mengejarnya, kemudian
mereka kembali di Talaga Pager.
Raden Wijaya masuk belukar, keluar belukar
seperti ayam hutan,
dan hamba hambanya yang mengiring semua,
ganti berganti
mendukung puteri bangsawan.
Akhirnya hamba hambanya bermusyawarah,
membicarakan
tentang keadaan Raden Wijaya.
Setelah putus pembicaraannya, semuanya
bersama sama
berkata: ”Tuanku, sembah hamba hamba tuanku
semua ini,
bagaimana akhir tuanku yang masuk belukar
dan keluar belukar
seperti ayam hutan itu, pendapat hamba
semua, lebih baik tuanku
pergi ke Madura Timur, hendaknyalah tuanku
mengungsi kepada
Wiraraja, dengan pengharapan agar ia dapat
dimintai bantuan,
mustahil ia tidak menaruh belas kasihan,
bukankah ia dapat menjadi
besar itu karena ayah tuanku almarhum yang
menjadi lantarannya.”
Kata Raden: ”Itu baik, kalau ia menaruh
belas kasihan, kalau
tidak, saya akan sangat malu.”
Jawab Sora, Rangga Lawe dan Nambi serentak
dengan suara
bersama: ”Bagaimana dapat Wiraraja melengos
terhadap tuanku.”
Itulah sebabnya Raden Wijaya menurut kata kata
hambanya.
Mereka keluar dari dalam hutan, datang di
Pandakan, menuju ke
orang tertua di Pandakan, bernama
Macankuping.
Raden Wijaya minta diberi kelapa muda,
setelah diberi, diminum
airnya, ketika dibelah, ternyata berisi nasi
putih. Heranlah yang
melihat itu.
Kata orang: ”Ajaib benar, memang belum
pernah ada kelapa
muda berisi nasi.”
Gajah Pagon tak dapat berjalan lagi, kata
Raden Wijaya: ”Orang
tua di Pandakan, saya menitipkan satu orang,
Gajah Pagon ini tidak
dapat berjalan, hendaknyalah ia tinggal di
tempatmu.”
Kata orang Pandakan: ” Aduh, tuanku. Itu
akan t idak baik kalau
sampai terjadi Gajah Pagon didapati disini,
mustahil akan ada
hamba yang menyetujui di Pandakan, kehendak
hamba, biarlah ia
berada di dalam pondok di hutan saja, di
ladang tempat orang
menyabit ilalang, di tengah tengahnya
setelah dibersihkan,
dibuatkan sebuah dangau, sunyi, tad ada
seorang hamba yang
mengetahui, hamba di Pandakan nanti yang
akan memberi makan
tiap tiap hari.”
Gajah Pagon lalu ditinggalkan, Raden Wijaya
selanjutnya menuju
ke Datar, pada waktu malam hari. Sesampainya
di Datar, lalu naik
perahu.
Tentara Daha lalu kembali pulang. Puteri
yang muda masih terus
ditawan, dibawa ke Daha, dipersembahkan
kepada raja Jaya
Katong.
Ia senang diberi tahu tentang Batara Siwa
Buda wafat.
Raden Wijaya menyeberang ke Utara, turun di
daerah perbatasan
Sungeneb, bermalam di tengah tengah sawah
yang baru saja habis
disikat, pematangnya tipis.
Sora lalu berbaring meniarap, Raden Wijaya
dan puteri
bangsawan itu duduk diatasnya.
Pagi harinya melanjutkan perjalanannya ke
Sungeneb,
beristirahat di dalam sebuah balai panjang.
Hamba hamba disuruh
melihat lihat, kalau kalau Wiraraja sedang duduk
dihadap hamba
hambanya.
Kembalilah mereka yang disuruh itu, memang
Wiraraja sedang
dihadap.
Berangkatlah raden Wijaya menuju tempat
Wiraraja dihadap,
terperanjatlah Wiraraja melihat Raden itu,
Wiraraja turun, lalu
masuk kedalamrumah, bubarlah yang menghadap.
Terhenti hati Raden Wijaya, berkata kepada
Sora dan
Ranggalawe: ”nah, apakah kataku, saya sangat
malu, lebih baik aku
mati pada waktu aku mengamuk dahulu itu.”
Maka ia kembali ke balai panjang, kemudian
Wiraraja datang
menghadap, berbondong bondong dengan seisi
rumah, terutama
isterinya, bersama sama membawa sirih dan
pinang.
Kata Ranggalawe: ”Nah, tuanku, bukankah itu
Wiraraja yang
datang menghadap kemari.” Maka senanglah
hati Raden Wijaya.
Isteri Adipati mempersembahkan sirih kepada
Raden Wijaya.
Wiraraja itu meminta, agar Raden Wijaya
masuk di perumahan
Adipati. Sang puteri bangsawan naik kereta,
isteri Wiraraja semua
berjalan kaki, mengiring puteri bangsawan
itu, dan Wiraraja
mengiring Raden Wijaya.
Setelah datang di rumah tempat Wiraraja
tidur. Raden Wijaya
dihadap didalam balai nomor dua sebelah
luar, ia menceriterakan
riwayat bagaimana sang batara yang gugur
ditengah tengah minum
minuman keras itu meninggal dunia, juga
menceriterakan
bagaimana ia mengamuk orang Daha.
Berkatalah Wiraraja: ”Sekarang ini, apakah
yang menjadi
kehendak tuan.”
Raden Wijaya menjawab: ”Saya minta
persekutuanmu, jika
sekiranya ada belas kasihanmu.”
Sembah Wiraraja: ”Janganlah tuanku khawatir,
hanya saja
hendaknya tuan bertindak perlahan lahan.”
Selanjutnya Wiraraja mempersembahkan kain,
sabuk dan kain
bawah, semuanya dibawa oleh isteri
isterinya, terutama isteri
pertamanya.
Kata Raden: ”Bapa Wiraraja, sangat besar hutangku
kepadamu,
jika tercapailah tujuanku, akan kubagi
menjadi dua tanah Jawa
nanti, hendaknyalah kamu menikmati
seperduanya, saya seperdua.”
Kata Wiraraja: ”bagaimana saja, tuanku, asal
tuanku dapat
menjadi raja saja.”
Demikianlah janji Raden Wijaya kepada
Wiraraja.
Luar biasa pelayanan Wiraraja terhadap Raden
Wijaya, tiap tiap
hari mempersembahkan makanan, tak usah
dikatakan tentang ia
mempersembahkan minuman keras.
Lamalah Raden Wijaya bertempat tinggal di
Sungeneb. Disitu
Arya Wiraraja berkata: ”Tuanku hamba
mengambil muslihat,
hendaknya tuanku pergi menghamba kepada raja
Jaya Katong,
hendaknyalah tuan seakan akan minta maaf
dengan kata kata yang
mengandung arti tunduk, kalau sekiranya raja
Jaya Katong tak
berkeberatan, tuan menghamba itu,
hendaknyalah tuan lekas lekas
pindah bertempat tinggal di Daha, kalau
rupanya sudah dipercaya,
hendaknyalah tuan memohon hutan orang Terik
kepada raja Jaya
Katong, hendaknyalah tuan membuat desa
disitu, hamba hamba
Maduralah yang akan menebang hutan untuk
dijadikan desa,
tempat hamba hamba Madura yang menghadap
tuanku dekat.
Adapun maksud tuanku menghamba itu, agar
supaya tuan dapat
melihat lihat orang orang raja Jaya Katong,
siapa yang setia, yang
berani, yang penakut, yang pandai, terutama
juga hendaknyalah
tuan ketahui sifat sifat Kebo Mundarang,
sesudah itu semua dapat
diukur, hendaknyalah tuanku memohon diri
pindah ke hutan orang
Terik yang sudah dirubah menjadi desa oleh
hamba hamba Madura
itu, masih ada perlunya lagi, yalah: ”Jika
ada hamba hamba tuanku
yang berasal dari Tumapel ingin kembali
menghamba lagi kepada
tuan, hendaknyalah tuan terima, meskipun
hamba hamba dari Daha
juga, jika mereka ingin mencari perlindungan
kepada tuan,
hendaknyalah tuan lindungi, jika semua itu
sudah, maka tentara
Daha tentu terkuasai oleh tuanku. Sekarang
hamba akan berkirim
surat kepada raja Jaya Katong.”
Berangkatlah orang yang disuruh mengantarkan
surat,
menyeberang ke selatan, menghadap raja Jaya
Katong,
mempersembahkan surat itu.
Adapun bunyi surat: ”Tuanku, patik baginda
memberi tahu,
bahwa cucu paduka baginda mohon ampun, ingin
takluk kepada
paduka baginda, hendaknyalah paduka baginda
maklum, terserah
apakah itu diperkenankan atau tidak
diperkenankan oleh paduka
tuan.”
Kata Raja Jaya Katong: ”Mengapa kami tidak
senang, kalau
buyung Arsa Wijaya akan menghamba kepada
kami.”
Selanjutnya disuruh kembalilah utusan itu
untuk menyampaikan
kata katanya.
Setelah utusan datang lalu menyampaikan
perintah.
Surat telah dibaca dimuka Raden Wijaya dan
dimuka dimuka
Wiraraja.
Wiraraja senang.
Segera Raden Wijaya kembali ke Pulau Jawa,
diiring oleh hamba
hambanya, dihantarkan oleh orang orang
Madura, dan Wiraraja juga
menghantarkan kembali di Terung.
Setelah datang di Daha, ia dengan tenteram
dapat menghadap
raja Jaya Katong, sangat dicintai.
Ketika ia datang di Daha, kebetulan tepat
pada hari raya
Galungan, hamba hambanya disuruh oleh raja
untuk mengambil
bagian didalam pertandingan, menteri menteri
Daha sangat heran,
karena orang orang itu baik semua, terutama
Sora, Rangga Lawe,
Nambi, Pedang dan Dangdi, mereka bersama
sama lari ketempat
pertandingan di Manguntur negara Daha.
Bergantilah menteri menteri Daha lari,
diantaranya yang
merupakan perjurit utama, yalah: Panglet,
Mahisa Rubuh dan Patih
Kebo Mundarang, mereka ketiga tiganya kalah
cepat larinya dengan
Rangga Lawe dan Sora.
Lama kelamaan Raja Jaya Katong mengadakan
pertandingan
tusuk menusuk, ”Puteraku Arsa Wijaya,
hendaknyalah kamu ikut
bermain tusuk menusuk, kami ingin melihat,
menteri menteri
kamilah yang akan menjadi lawanmu.”
Jawab Raden Wijaya: ”Baiklah tuanku.”
Bertandinglah mereka tusuk menusuk itu, riuh
rendah suara
bunyi bunyian, orang yang melihat penuh tak
ada selatnya, orang
orang raja Jaya Katong sering kali terpaksa
lari.
Kata raja Jaya Katong: ”Pintalah buyung Arsa
Wijaya, jangan ikut
serta, siapakah yang berani melawan tuannya.”
Raden Wijaya berhenti, kini sepadanlah
pertandingan tusuk
menusuk itu, kejar mengejar, kemudian Sora
menuju ke arah Kebo
Mundarang, Rangga Lawe menuju Panglet dan
Nambi menuju ke
Mahisa Rubuh, akhirnya terpaksa lari menteri
menteri Daha itu
menghadapi orang orang Raden Wijaya, tak ada
yang mengadakan
pembalasan, lalu bubar.
Sekarang Raden Wijaya telah melihat, bahwa
menteri menteri
Daha dikalahkan oleh orang orangnya.
Lalu ia berkirim surat kepada Wiraraja,
selanjutnya Wiraraja
menyampaikan pesan, agar Raden Wijaya
memohon hutan orang
Terik.
Raja Jaya Katong memperkenankan. Inilah asal
usul orang
mendirikan desa di hutan orang Terik.
Ketika desa sedang dibuat oleh orang orang
Madura, ada orang
yang lapar karena kurang bekalnya pada waktu
ia menebang hutan,
ia makan buah maja, merasa pahit, semua
dibuanglah buah maja
yang diambilnya itu, terkenal ada buah maja
pahit rasanya, tempat
itu lalu diberi nama Majapahit.
Raden Wijaya telah dapat memperhitungkan
keadaan Daha.
Majapahit telah berupa desa. Orang orang
Wiraraja yang
mengadakan hubungan dengan Daha,
beristirahat di Majapahit.
Wiraraja berkirim pesan kepada Raden Wijaya,
bagaimana
caranya memohon diri kepada raja Jaya
Katong.
Sekarang Raden Wijaya meminta ijin pindah ke
Majapahit.
Raja Jaya Katong memperkenankannya, lengah
karena rasa
sayang dan karena kepandaian Raden Wijaya
menghamba itu,
seperti sungguh sungguh.
Setelah Raden Wijaya pindah ke Majapahit,
lalu memberi tahu
kepada Wiraraja, bahwa menteri menteri Daha
telah dapat dikuasai
olehnya dan oleh hamba hambanya semua.
Raden Wijaya mengajak Wiraraja menyerang
Daha, Wiraraja
menahan, berkata kepada utusannya: ”Jangan
tergesa gesa, masih
ada muslihat saya lagi, hendaknyalah kamu
wahai utusan,
bersembah kepada tuanmu, saya ini berteman
dengan raja Tatar,
itu akan kutawari puteri bangsawan,
hendaknyalah kamu utusan,
pulang ke Majapahit sekarang.
Sepergimu saya akan berkirim surat ke Tatar.
Ada perahuku, itu
akan saya suruh ikut serta ke Tatar, agar
supaya menyampaikan
ajakan menyerang Daha.
Jika raja Daha telah kalah, maka seluruh
pulau Jawa tak ada
yang menyamai, itu nanti dapat dimiliki oleh
raja Tatar, demikian itu
penipuanku terhadap raja Tatar. Hendaknyalah
kamu memberi tahu
kepada Sang Pangeran, bahwasanya ini agar
supaya raja itu mau
ikut serta mengalahkan Daha.”
Utusan pulang kembali ke Majapahit, Raden
Wijaya senang diberi
tahu semua pesan Wiraraja itu.
Sesudah utusan kembali, Wiraraja lalu
berkirim utusan ke Tatar.
Wiraraja pindah ke Majapahit, seisi rumah
dan membawa tentara
dari Madura, yalah semua orang Madura yang
baik dibawa beserta
senjatanya.
Setelah utusan datang dari Tatar, lalu
menyerang Daha.
Tentara Tatar keluar dari sebelah utara,
tentara Madura dan
Majapahit keluar dari timur, Raja Katong
bingung, tak tahu mana
yang harus dijaga.
Kemudian diserang dengan hebat dari utara
oleh tentara Tatar.
Kebo Mundarang, Panglet dan Mahisa Rubuh
menjaga tentara
dari timur. Panglet mati oleh Sora, Kebo
rubuh mati oleh Nambi,
Kebo Mundarang bertemu dengan Rangga Lawe,
terpaksa larilah
Kebo Mundarang, dapat dikejar di lembah
Trinipati, akhirnya mati
oleh Rangga Lawe, Kebo Mundarang berpesan
kepada Rangga
Lawe: ”Wahai Rangga Lawe, saya mempunyai
seorang anak
perempuan, hendaknyalah itu diambil oleh Ki
Sora sebagai anugerah
atas keberaniannya.”
Raja Jaya Katong yang bertempur ke Utara,
bersenjatakan
perisai, diserang bersama sama oleh orang
orang Tatar, akhirnya
tertangkap dan dipenjara oleh orang Tatar.
Raden Wijaya lekas lekas masuk kedalam
istana Daha, untuk
melarikan puteri bangsawan yang muda, lalu
dibawa ke Majapahit,
sedatangnya di Majapahit orang orang Tatar
datang untuk meminta
puteri puteri bangsawan, karena Wiraraja
telah menyanggupkan itu,
jika Daha telah kalah, akan memberikan dua
orang puteri
bangsawan yang berasal dari Tumapel, kedua
duanya semua.
Maka bingunglah para menteri semua, mencari
cari kesanggupan
lain,
Sora berkata: ”Nah, saya saja yang akan
mengamuk bilamana
orang orang Tatar datang kemari.”
Arya Wiraraja menjawab: ”Sesungguhnya, wahai
buyung Sora,
masih ada muslihatku lagi.”
Maka dicari dicarilah kesanggupan
kesanggupan. Itulah yang
dimusyawarahkan oleh menteri menteri.
Sora menyatakan kesanggupannya: ” Tak
seberapa kalau saya
mengamuk orang orang Tatar.”
Pada waktu sore hari, waktu matahari sudah
condong ke barat,
orang orang Tatar datang meminta puteri
puteri bangsawan.
Wiraraja menjawab: ”Wahai, orang orang Tatar
semua,
janganlah kamu kalian tergesa gesa, puteri
puteri raja itu sedang
sedih, karena telah cemas melihat tentara
tentara pada waktu
Tumapel kalah, lebih lebih ketika Daha
kalah, sangat takut melihat
segala yang serba tajam. Besok pagi saja
mereka akan diserahkan
kepada kamu, ditempatkan kedalam kotak,
diusung, dihias dengan
kain kain, dihantarkan ke perahumu, sebabnya
mereka ditempatkan
didalam peti itu, karena mereka segan
melihat barang barang yang
tajam, dan yang menerimanya puteri puteri
bangsawan itu,
hendaknyalah jangan orang Tatar yang jelek,
tetapi orang orang
yang bagus jangan membawa teman, karena
janji puteri puteri
bangsawan itu, kalau sampai terjadi melihat
yang serba tajam,
meskipun sudah tiba diatas perahu, mereka
akan terjun kedalam air,
bukankah akan sia sia saja, bahwasanya
kalian telah
mempertaruhkan jiwa itu, jika puteri puteri
bangsawan ini sampai
terjadi terjun kedalam air.”
Percayalah orang orang Tatar, ditipu itu.
Kata seorang Tatar:
”Sangat betul perkataan tuan.”
Sesudah datang saat perjanjian menyerahkan
puteri puteri
bangsawan itu, orang orang Tatar datang
berbondong bondong
meminta puteri puteri bangsawan, semua tak
ada yang membawa
senjata tajam.
Setelah mereka masuk kedalam pintu
Bayangkara, orang orang
Tatar itu ditutupi pintu, dikunci dari luar
dan dari dalam, Sora telah
menyisipkan keris pada pahanya.
Sekonyong konyong orang orang Tatar diamuk
oleh Sora, habis,
mati semua.
Ranggalawe mengamuk kepada mereka yang
berada di luar balai
tempat orang menghadap, dikejar sampai
ketempat kemana saja
mereka lari, kemuara Canggu, diikuti dan
dibunuh.
Kira kira sepuluh hari kemudian, mereka yang
pergi berperang,
datang dari Malayu, mendapat dua orang
puteri, yang seorang
dikawin oleh Raden Wijaya, yalah yang
bernama Raden Dara
Pethak, adapun yang tua bernama Dara Jingga,
kawin dengan
seorang Dewa, melahirkan seorang anak laki
laki menjadi raja di
Malayu, bernama Tuhan Janaka, nama
nobatannya: Sri Warmadewa
alias Raja Mantrolot.
Peristiwa Malayu dan Tumapel itu bersamaan
waktunya pada
tahun Saka: Pendeta Sembilan Bersamadi atau
1197.
Raja Katong naik diatas tahta kerajaan di
Daha pada tahun Saka:
Ular Muka Dara Tunggal atau 1198.
Setelah Raka Katong datang di Junggaluh ia
mengarang kidung:
Wukir Polaman, selesai mengarang kidung ia
wafat.
VII. Sekarang Raden Wijaya menjadi raja pada
tahun Saka: Rasa
Rupa Dua Bulan atau 1216. Kemudian ia
mempunyai seorang anak
laki laki dari Dara Pethak, nama
kesatriyannya: Raden Kalagemet.
Adapun dua orang anak perempuan Batara Siwa
Buda, yang
dibayang bayangkan kepada orang Tatar,
keduanya itu juga dikawin
oleh Raden Wijaya, yang tua menjadi ratu di
Kahuripan, yang muda
menjadi ratu di Daha.
Nama nobatan Raden Wijaya pada waktu menjadi
raja: Sri
Kertarajasa.
Didalam tahun pemerintahannya ia mendapat
penyakit bisul
berbengkak.
Ia wafat di Antapura, wafat pada tahun 1257.
VIII. Raden Kalagemet menggantikannya
menjadi raja, nama
nobatannya: Batara Jayanagara. Sri Siwa Buda
dicandikan di
Tumapel, nama resmi candi: Purwa Patapan.
Berdiri candi itu
berselat 17 tahun dengan perist iwa
Ranggalawe.
Ranggalawe akan dijadikan patih, tetapi
urung, itulah sebabnya
maka ia mengadakan pemberontakan di Tuban,
dan mengadakan
perserikatan dengan kawan kawannya.
Telah terjadi orang orang Tuban di gunung
sebelah utara
dimasukkan didalam perserikatannya , mereka
itu semua menaruh
perhatian kepada Ranggalawe.
Nama orang orang yang menyetujuinya, yalah:
Panji Marajaya,
Ra Jaran Waha, Ra Arya Sidi, Ra Lintang, Ra
Tosan, Ra Galatik, Ra
Tati, mereka itu teman teman Ranggalawe pada
waktu berontak.
Adapun sebabnya ia pergi dari Majapahit itu,
merebut
kedudukan, Mahapati menjalankan fitnah
dengan bahan kata kata
Ranggalawe: ”Jangan banyak bicara, didalam
kitab Partayadnya ada
tempat untuk penakut penakut.”
Setelah terdengar, bahwa Ranggalawe
berontak, Mahapatih-lah
yang memberi memberi tahu hal itu, maka raja
Jayanagara marah,
semua teman teman Ranggalawe didalam
pemberontakan itu mati,
hanya Ra Gelatik yang masih hidup, karena ia
disuruh berbalik hati.
Peristiwa Ranggalawe itu pada tahun saka:
Kuda Bumi Sayap
Orang, atau 1217.
Wiraraja memohon diri untuk bertempat
tinggal di Lamajang,
yang luasnya tiga daerah juru, karena Raden
Wijaya telah berjanji
akan membagi dua Pulau Jawa, dan akan
menganugerahkan daerah
lembah Lumajang sebelah selatan dan utara
beserta daerah tiga
juru.
Telah lama itu dinikmati oleh Wiraraja,
Nambi masih menjadi
patih, Sora menjadi Demung dan Tipar menjadi
Tumenggung.
Tumenggung pada waktu itu lebih rendah dari
pada Demung.
Wiraraja tidak kembali ke Majapahit, ia
tidak mau menghamba.
Setelah berselat tiga tahun dari peristiwa
Ranggalawe maka
terjadilah peristiwa Sora.
Sora difitnah oleh Mahapati, dan Sora ini
dapat dilenyapkan,
dibunuh oleh Kebo Mundarang, pada tahun
saka: Baba Tangan
Orang atau 1222.
Juga Nambi difitnah oleh Mahapati, jasa jasa
perangnya tidak
diperhatikan, pada waktu ia melihat saat
yang tepat dan baik, ia
memohon diri untuk meninjau Wiraraja yang
menderita sakit. Sri
Jayanagara memberi ijin, hanya saja tidak
diperkenankan pergi lama
lama.
Nambi tak datang kembali, menetap di Lembah,
mendirikan
benteng, menyiapkan tentara.
Wiraraja meninggal dunia.
Sri Jayanagara menjadi raja, lamanya dua
tahun.
Ada peristiwa gunung meletus, yalah gunung
Lungge pada tahun
saka: Api Api Tangan Satu atau : 1233.
Selanjutnya terjadi peristiwa Juru Demung,
berselat dua tahun
dengan peristiwa Sora.
Juru Demung mati pada tahun saka: Keinginan
Sifat Sayap
Orang, atau: 1235.
Lalu terjadi peristiwa Gajah Biru pada tahun
saka: Rasa Sifat
Sayap Orang atau: 1236.
Selanjutnya terjadi peristiwa Mandana,
Jayanagara berangkat
sendiri untuk melenyapkan orang orang
Mandana.
Sesudah itu ia pergi ke t imur untuk
melenyapkan Nambi.
Nambi diberi tahu, bahwa Juru Demung sudah
mati, demikian
pula patih pengasuh, Tumenggung Jaran
Lejong, menteri menteri
pemberani semua sudah mati, gugur di medan
perang.
Nambi berkata: ”Kakak Samara, Ki Derpana, Ki
Teguh, Paman
Jaran Bangkal, Ki Wirot, Ra Windan, Ra
Jangkung, jika dibanding
banding, orang orang disebelah t imur ini,
tak akan kalah, apalagi
setelah mereka sudah rusak itu, siapa lagi
yang menjadi teras orang
orang sebelah barat, apakah Jabung Terewes,
Lembu Peteng atau
Ikal Ikalan Bang, saja tak akan gentar, biar
selaksa semacam itu
didepan dan dibelakang, akan kuhadapi pula
seperti perang di
Bubat.”
Setelah orang orang Majapahit datang, dan
Nambi pergi ke
selatan, maka Ganding rusak, piyagamnya
dapat dirampas, Nambi
dikejar kejar dan didesak, Derpana, Samara,
Wirot Made, Windan,
Jangkung mulai bertindak, terutama Nambi, ia
mengadakan
serangan pertama tama. Seakan akan
tercabutlah orang orang
Majapahit, tak ada yang mengadakan
perlawanan.
Jabung Terewes, Lembu Peteng dan Ikal Ikalan
Bang lalu
bersama sama menyerang Nambi, Nambi gugur,
demikian pula
teman teman Nambi yang menyerang tadi gugur
semua, patahlah
perlawanan di Rabut Buhayabang, orang orang
disebelah timur itu
mencabut payung kebesarannya, daerah
Lumajang kalah pada
tahun saka: Ular Menggigit Bulan, atau:
1238.
Peristiwa Wagal dan Mandana itu bersamaan
waktunya.
Berselat dua tahun Peristiwa Wagal dengan
peristiwa Lasem.
Semi dibunuh, ia mati dibawah pohon kapuk,
pada tahun saka:
Bukan Kitab Suci Sayap Orang, atau: 1240.
Sesudah itu terjadi peristiwa Ra Kuti. Ada
dua golongan
Darmaputra Raja, mereka ini dahulunya adalah
pejabat pejabat
yang diberi anugerah raja, banyaknya tujuh
orang, bernama: Kuti,
Ra Pangsa, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Tanca dan
Ra Banyak.
Ra Kuti dan Ra Semi dibunuh, karena difitnah
oleh Mahapati,
akhirnya Mahapati diketahui melakukan
fitnahan, ia ditangkap, dan
dibunuh seperti seekor babi hutan, dosanya
akan pergi sendiri ke
Bedander. Ia pergi pada waktu malam, tak ada
orang tahu, hanya
orang orang Bayangkara mengiringkannya,
semua yang kebetulan
mendapat giliran menjaga pada waktu raja
pergi itu, banyaknya 15
orang, pada waktu itu Gajah Mada menjadi
Kepala Bayangkara dan
kebetulan juga sedang menerima giliran
menjaga, itulah sebabnya
ia mengiring raja pada waktu raja pergi
dengan menyamar itu.
Lamalah raja tinggal di Bedander.
Adalah seorang pejabat, ia memohon ijin akan
pulang
kerumahnya, tidak diperbolehkan oleh Gajah
Mada, karena jumlah
orang yang mengiring raja hanya sedikit, ia
memaksa akan pulang,
lalu ditusuk oleh Gajah Mada, maksud ia
menusuk itu, yalah:
”jangan jangan ia nanti memberi tahu, bahwa
raja bertempat
tinggal dirumah kepala desa Bedander,
sehingga Ra Kuti, sehingga
Ra Kuti dapat mengetahuinya.
Kira kira lima hari kemudiannya Gajah Mada
memohon ijin untuk
pergi ke Majapahit.
Sedatangnya di Majapahit, Gajah Mada
ditanyai oleh para
Amanca Negara tentang tempat raja, ia
mengatakan, bahwa raja
telah diambil oleh teman teman Kuti.
Orang orang yang diberi tahu semuanya
menangis, Gajah Mada
berkata: ”Janganlah menangis, apakah tuan
tuan tidak ingin
menghamba kepada Ra Kuti.”
Menjawablah yang diajak berbicara itu: ”Apakah
kata tuan itu, Ra
Kuti bukan tuan kami.”
Akhirnya Gajah Mada memberi tahu bahwa raja
berada di
Bedander, Gajah Mada lalu mengadakan
persetujuan dengan para
menteri, mereka semua sanggup membunuh Ra
Kuti, dan Ra Kut i
mati dibunuh.
Raja pulang dari Bedander, kepala desa
ditinggalkan, selanjutnya
ia menjadi orang yang terkenal pada waktu
itu.
Sesudah raja pulang, maka Gajah Mada tak
lagi menjadi Kepala
orang orang Bayangkara, dua bulan lamanya ia
mendapat cut i
dibebaskan dari kewajiban, ia dipindah
menjadi Patih di Kahuripan,
dua tahun lamanya menjadi patih itu.
Sang Arya Tilam, patih di Daha meninggal
dunia, Gajah Mada
menggantinya, ditempatkan menjadi patih di
Daha, patih
Mangkubumi Sang Arya Tadah menyetujui, ialah
yang menyokong
Gajah Mada menjadi patih di Daha itu.
Raja Jayanagara mempunyai dua orang saudara
perempuan, lain
ibu, mereka tak diperbolehkan kawin dengan orang
lain, akan
diambil sendiri.
Pada waktu itu tak ada kesatriya di
Majapahit, tiap tiap kesatriya
yang tampak lalu dilenyapkan, jangan jangan
ada yang mengingini
adiknya itu, itulah sebabnya maka kesatriya
kesatriya bersembunyi
tidak keluar.
Isteri Tanca menyiarkan berita, bahwa ia
diperlakukan tidak baik
oleh raja.
Tanca dituntut oleh Gajah Mada. Kebetulan
raja Jayanegara
menderita sakit bengkak, tak dapat pergi
keluar, Tanca mendapat
perintah untuk melakukan pembedahan dengan
taji, ia menghadap
didekat tempat tidur. Raja ditusuk oleh
Tanca dengan taji sekali dua
kali, tidak makan tajinya, lalu raja diminta
agar supaya meletakkan
jimatnya, ia meletakkan jimatnya didekat
tempat tidur, ditusuk oleh
Tanca, tajinya makan, diteruskan ditusuk
oleh Tanca, sehingga mati
ditempat tidur itu.
Tanca segera dibunuh oleh Gajah Mada,
matilah Tanca.
Berselat sembilan tahunlah peristiwa Kuti
dan perist iwa Tanca itu,
pada tahun saka: Abu Unsur memukul Raja
atau: 1250.
Raja dicandikan di Kapopongan, nama resmi
candi itu:
Srenggapura, arcanya di Antawulan.
Pada waktu itu para kesatriya menginjakkan
kaki di Majapahit
lagi.
Raden Cakradara dipilih pada sayembara
menjadi suami seri ratu
di Kahuripan.
Raden Kuda Merta kawin dengan seri ratu di
Daha.
Raden Kuda Merta menjadi raja di Wengker,
Sri Paduka
Prameswara di Pamotan, nama nobatannya: Sri
Wijayarajasa.
Adalah anak Raden Cakradara, menjadi raja di
Tumapel, nama
nobatannya Sri Kertawardana.
IX. Sri Ratu di kahuripan menjadi raja pada
tahun saka: Sunyi
Keinginan Sayap Bumi, atau: 1250.
Seri Ratu di Kahuripan itu mempunyai tiga
orang anak, yalah:
Batara Prabu, panggilannya Seri Hayam Wuruk,
Raden tetep,
sebutannya jika ia bermain kedok: Dalang
Tritaraju, jika ia bermain
wayang dan melawak: Gagak Ketawang, di
kalangan pemeluk
agama Siwa: Mpu Janeswara, nama nobatannya
Seri Rajasa Nagara,
sebagai Prabu: Seri Baginda Sang Hyang
Wekasing Suka.
Adiknya perempuan kawin dengan raden Larang,
yang juga
disebut Baginda di Matahun, tidak mempunyai
anak, adiknya yang
bungsu, yalah: Seri ratu di Pajang, kawin
dengan Raden Sumana,
yang juga disebut Baginda di Paguhan, ini
adalah saudara sepupu
Seri Ratu di Kahuripan. Isteri Baginda di
Gundal, dicandikan di
Sajabung, nama resmi candi itu: Bajra Jina
Parimita Pura.
Selanjutnya terjadi peristiwa Sadeng.
Tadah yang menjadi patih Mangkubumi
menderita sakit, sering
sekonyong konyong tak berkuasa menghadap,
memajukan
permohonan kehadapan Paduka batara untuk
diijinkan berhenti,
tidak dikabulkan oleh Seri Ratu di
Kahuripan, Sang Arya Tadah
kembali pulang, memanggil Gajah Mada,
mengadakan pembicaraan
di ruang tengah, Gajah Mada diminta menjadi
Patih di Majapahit,
meskipun tidak berpangkat Mangkubumi: ”Saya
akan membantu
didalamsoal soal yang luar biasa,”
Gajah Mada berkata: ” Anaknda tidak sanggup
jika menjadi patih
sekarang ini, jika sudah kembali dari
Sadeng, hamba mau menjadi
patih, itupun jika tuan suka memaafkan
segala kekurangan
kemampuan anaknda ini.”
”Nah, buyung, saya akan membantu didalam
segala kesukaran,
dan didalam soal soal yang luar biasa.”
Sekarang besarlah hati Gajah Mada, mendengar
kesanggupan
sang Arya Tadah itu. Kini ia berangkat ke
Sadeng.
Para menteri araraman dibohongi, juga patih
Mangkubumi juga
kena tipu, bahwasanya Kembar telah lebih
dahulu mengepung
Sadeng.
Mangkubumi marah, memberi perintah kepada
menteri luar,
banyak mereka yang berangkat lima satuan,
dikepalai oleh bekel,
masing masing satuan terdiri dari lima
orang.
Kembar dijumpai didalam hutan, mereka
berdiri diatas pohon
yang roboh, berayun ayun seperti orang naik
kuda sambil melambai
lambaikan cambuk kepada mereka yang menyuruh
agar Kembar
kembali dan tidak melanjutkan perjalanan.
Disampaikanlah pesan dari para menteri
semua, terutama juga
dari gusti patih Mangkubumi, menyuruh agar
Kembar kembali,
karena dikhabarkan mendahului mengepung
orang orang Sadeng.
Dicambuklah muka orang yang menyuruh
kembali, tidak kena
karena berlindung dibalik pohon, Kembar lalu
berkata: ”Tidak ada
orang yang diindahkan oleh Kembar ini,
didalam perang saja tidak
mau mengindahkan tuanmu itu.”
Pergilah yang mendapat perintah untuk
menyuruh kembali tadi,
dan memberi tahu semua yang dikatakan oleh
Kembar.
Gajah Mada diam, merasa sangat diperolok
olok, orang orang
Sadeng dikepung, Tuhan Waruju seorang Dewa
Putera dari
Pamelekahan, jikalau membunyikan cambuk,
terdengar di ruang
angkasa, terperanjat orang Majapahit.
Segera Sang Sinuhun tadi datang, mengalahkan
Sadeng.
Peristiwa Tanca dan Sadeng itu berselat tiga
tahun, pada tahun
saka: Tindakan Unsur Lihat Daging, atau:
1256.
Setelah Kembar kembali dari Sadeng, lalu
menjadi bekel araman,
Gajah Mada menjadi Angabehi, Jaran Baya,
Jalu, Demang Bucang,
Gagak Nunge, Jenar dan Arya Rahu mendapat
pangkat, Lembu
Peteng menjadi Tumenggung.
Gajah Mada menjadi patih Mangkubumi, tidak
mau mengambil
istirahat, Gajah Mada berkata: ”Jika pulau
pulau diluar Majapahit
sudah kalah, saya akan istirahat, nanti
kalau sudah kalah Gurun,
Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo,
Bali, Sunda,
Palembang, Tumasik, barulah saya menikmati
masa istirahat.”
Pada waktu itu para menteri sedang lengkap
duduk menghadap
di balai penghadapan.
Kembar memperolok olok Gajah Mada dengan
menyebut
kesalahan kesalahan dan kekurangan
kekurangannya, dan
menumpahkan telempak, Ra banyak ikut serta
menambah
mengemukakan celaan celaan.
Jabung Terewes, Lembu Peteng tertawa. Lalu
Gajah Mada turun
mengadukan soal itu kehadapan batara di
Koripan, baginda marah,
kemarahan dan penghinaan ini disampaikan
kepada Arya Tadah.
Dosa Kembar telah banyak, Warak dilenyapkan,
tak dikatakan
pada Kembar, mereka mati semua.
X. Selanjutnya terjadi peristiwa orang orang
Sunda di Bubat.
Seri Baginda Prabu mengingini puteri Sunda.
Patih Madu
mendapat perintah menyampaikan permintaan
kepada orang Sunda,
orang Sunda tidak berkeberatan mengadakan
pertalian perkawinan.
Raja Sunda datang di Majapahit, yalah Sang
Baginda Maharaja,
tetapi ia tidak mempersembahkan puterinya.
Orang Sunda bertekad berperang, itulah sikap
yang telah
mendapat sepakat, karena Patih Majapahit
keberatan jika
perkawinan dilakukan dengan perayaan resmi,
kehendaknya yalah
agar puteri Sunda itu dijadikan persembahan.
Orang Sunda tidak setuju. Gajah Mada
melaporkan sikap orang
orang Sunda.
Baginda di Wengker menyatakan kesanggupan: ”jangan
khawatir, kakak Baginda, sayalah yang akan
melawan berperang.”
Gajah Mada memberitahu tentang sikap orang
Sunda. Lalu orang
Majapahit berkumpul, mengepung orang Sunda.
Orang Sunda akan mempersembahkan puteri
raja, tetapi tidak
diperkenankan oleh bangsawan bangsawannya,
mereka ini sanggup
gugur dimedan perang di Bubat, tak akan
menyerah, akan
mempertaruhkan darahnya.
Kesanggupan bangsawan bangsawan itu
mengalirkan darah, para
terkemuka pada fihak Sunda yang bersemangat,
yalah: Larang
Agung, Tuhan Sohan, Tuhan Gempong, Panji
Melong, orang orang
dari Tobong Barang, Rangga Cahot, Tuhan
Usus, Tuhan Sohan,
Orang Pangulu, Orang Saja, Rangga Kaweni,
Orang Siring, Satrajali,
Jagadsaja, semua rakyat Sunda bersorak.
Bercampur dengan bunyi bende, keriuhan sorak
tadi seperti
guruh.
Sang Prabu Maharaja telah mendahului gugur,
jatuh bersama
sama dengan Tuhan Usus.
Seri Baginda Parameswara menuju ke Bubat, ia
tidak tahu bahwa
orang orang Sunda masih banyak yang belum
gugur, bangsawan
bangsawan, mereka yang terkemuka lalu
menyerang, orang
Majapahit rusak.
Adapun yang mengadakan perlawanan dan
melakukan
pembalasan, yalah: Arya Sentong, Patih Gowi,
Patih Marga Lewih,
Patih Teteg, dan Jaran Baya.
Semua menteri araman itu berperang dengan
naik kuda,
terdesaklah orang Sunda, lalu mengadakan
serangan ke selatan dan
ke barat, menuju tempat Gajah Mada, masing
masing orang Sunda
yang tiba dimuka kereta, gugur, darah
seperti lautan, bangkai
seperti gunung, hancurlah orang orang Sunda,
tak ada yang
ketinggalan, pada tahun saka: Sembilan Kuda
Sayap Bumi, atau:
1279.
Peristiwa Sunda itu bersama sama dengan
peristiwa Dompo.
Sekarang Gajah Mada menikmati masa
istirahat, sebelas tahun ia
menjadi Mangkubumi.
Berhubung dengan puteri Sunda itu mati, maka
Batara Prabu lalu
kawin dengan anak perempuan Baginda
Prameswara, yalah: Paduka
Sori, dari perkawinan itu lahirlah seorang
anak perempuan, yalah
Seri Ratu di Lasem Sang Ayu, dari
perkawinannya dengan isteri lain,
lahirlah baginda di Wirabumi, yang diambil
menjadi anak angkat Seri
Ratu di Daha.
Seri ratu di Pajang mempunyai tiga orang
anak: Seri Baginda
Hyang Wisesa, nama kesatriyannya Raden Gagak
Sali, namanya
sebagai Raja Aji Wikrama, kawin dengan Seri
Ratu di Lasem yalah:
Sang Ayu, lalu mempunyai seorang anak,
yalah: Seri Baginda
Wekasing Suka, anak yang kedua perempuan,
yalah: Seri Ratu di
Lasem Sang Alemu, kawin dengan baginda di
Wirabumi, adapun
anak yang ketiga juga perempuan, menjadi
Seri ratu di Kahuripan.
Ada lagi anak Baginda di Tumapel, nama
kesatriyannya Raden
Sotor, menjadi hino di Koripan, lalu pindah
menjadi hino di Daha,
selanjutnya menjadi hino di Majapahit, ini
mempunyai seorang anak
laki laki, yalah: Raden Sumirat, kawin
dengan Seri Ratu di Kahuripan
dan menjadi raja dengan sebutan Baginda di
Pandan Salas.
Lalu terjadi peristiwa upacara selamatan roh
nenek moyang yang
dinamakan Srada Agung, pada tahun saka:
Empat Ular Dua
Tunggal, atau: 1284.
Sang Patih Gajah Mada wafat pada tahun saka:
Langit Muka
Mata Bulan, atau 1290, tiga tahun lamanya
tak ada yang mengganti
menjadi patih.
Gajah Enggon menjadi patih pada tahun saka:
Sifat Sembilan
Sayap Orang, atau: 1293.
Seri Ratu di Daha wafat, dicandikan di
Adilangu, nama resmi
candi itu Gunung Purwawisesa.
Seri Ratu di kahuripan wafat, dicandikan di
Panggih, nama resmi
candinya Gunung Pantarapura.
Selanjutnya terjadi peristiwa gunung baru
pada tahun saka: Ular
Liang Telinga Orang, atau: 1208.
Lalu terjadi peristiwa gunung meletus, pada
minggu Madasia,
tahun saka: Pendeta Sunyi Sifat Tunggal,
atau: 1307.
Baginda di Tumapel wafat, ia wafat di
Suniyalaya pada tahun
saka: Gajah Sunyi Tindakan Ekor, atau” 1308,
dicandikan di Japan,
nama resmi candi itu Sarwa Jaya Purwa.
Baginda Hyang Wisesa mempunyai anak,
(1) Seri Baginda di Tumapel
(2) Perempuan, yalah: Seri Ratu Prabu-stri,
yang lalu
mempunyai nama nobatan: Dewi Suhita
(3) Bungsu laki laki, yalah: Baginda di
Tumapel alias Sri
Kerta Rajasa
Baginda di Pandan Salas mempunyai anak
XVIII. Baginda di Koripan, alias Baginda
Hyang Prameswara,
nama nobatannya Aji Ratna Pangkaja, kawin
dengan
Seri Ratu Prabu-stri, tidak berputera
(2) Perempuan, Sang ratu Ratu di Mataram,
yang kawin
dengan Baginda Hyang Wisesa
(3) Perempuan, Sang ratu di Lasem, yang
kawin dengan
Baginda di Tumapel
(4) Perempuan lagi, Sang Ratu di Matahun.
Baginda di Tumapel mempunyai anak laki laki,
menjadi raja di
Wengker, kawin dengan Seri ratu di Matahun,
anak kedua menjadi
raja di Paguhan, anak ketiga lahir dari
isteri muda, perempuan,
yalah: Seri Ratu di Jagaraga, kawin dengan
Baginda Parameswara,
tidak beranak, anak kelima, yalah: Sang ratu
di Pajang, juga kawin
dengan Baginda di Paguhan, jadi dibayuh sama
sama saudara, tidak
mempunyai anak.
Baginda di Keling kawin dengan Seri ratu di
Kembang Jenar.
Anak laki laki Baginda di Wengker, yalah
Baginda di Kabalan.
Baginda di Paguhan mempunyai anak dari
isteri kelahiran
golongan kesatriya, perempuan yalah: Sang
ratu di Singapura,
kawin dengan Baginda di Pandan Salas.
Baginda Prameswara di Pamotan, wafat pada
tahun saka: Langit
Rupa Menggigit Bulan, atau: 1310, ia
dicandikan di Manyar, nama
resmi candinya Wisnu Bawana Pura.
Seri ratu di Matahun wafat, dicandikan di
Tiga Wangi, nama
resmi candi itu Kusuma Pura.
Paduka Sori wafat.
Sang ratu di Pajang wafat, dicandikan di
Embul, nama resmi
candi Girindra Pura.
Baginda di Paguhan wafat, dicandikan di
Lobencal, nama resmi
candi Parwa Tiga Pura.
Baginda Hyang Wekasing Suka, wafat pada
tahun saka: Bumi
Rupa Ayah Ibu, atau 1311.
XI. Baginda Hyang Wisesa dinobatkan menjadi
raja.
Lalu terjadi peristiwa gunung meletus
didalam minggu
Prangbakat, pada tahun saka: Muka Orang
Tindakan Ular, atau :
1317.
Selanjutnya Gajah Enggon meninggal dunia
pada tahun saka:
Sunyi Sayap Tindakan Orang, atau: 1320. ia
menjadi patih 27 tahun
lamanya.
Baginda Hyang Wekasing Suka mengangkat Gajah
Manguri
menjadi patih.
Baginda Hyang Wekasing Suka wafat, ia wafat
di Indra Bawana,
pada tahun saka: Orang Mata Api Bulan, atau
1321, dicandikan di
Tanjung, nama resmi candi Parama Suka Pura.
Baginda Hyang Wisesa menjadi pendeta pada
tahun saka: Mata
Sayap api Bulan, atau: 1322.
XII. Seri Ratu Batara Isteri dinobatkan
menjadi Raja.
Sang ratu di Lasem wafat di Kawidyadaren,
dicandikan di
Pabangan, nama resmi candi: Laksmi Pura.
Sang Ratu di Kahuripan wafat.
Sang Ratu di Lasemyalah Sang ratu Gemuk
wafat.
Baginda di Pandan Salas wafat, dicandikan di
Jinggan, nama
resmi candi Sri Wisnu Pura.
Baginda Hyang Wisesa bercekcok dengan
Baginda Wirabumi,
mereka segan bersama sama berbicara, saling
diam mendiamkan,
akhirnya berpisah sampai itu terjadi pada
tahun saka 1323.
Tiga tahun kemudian lalu terjadi lagi huru
hara. Kedua duanya
mengumpulkan orang orangnya, Baginda di
Tumapel dan baginda
Hyang Prameswara diminta datang. ”Siapakah
yang harus kami
ikuti.” Maka terjadilah perang malang.
Ia masgul dan bertekad akan pergi.
Baginda ”jangan tergesa gesa pergi, sayalah
yang akan
melawan.”
Baginda Hyang Wisnu menurut dan mengumpulkan
orang
orangnya lagi, dihulubalangi oleh Baginda di
Tumapel. Di daha
diambil oleh baginda Hyang Wisesa, dibawa
keatas perahu, dikejar
oleh Raden Gajah yang mempunyai nama nobatan
Ratu Angabaya,
baginda Narapati.
Terkejar didalam perahu, dibunuh, dipenggal
kepalanya, dibawa
ke Majapahit, dicandikan di Lung, nama resmi
candinya Gorisa, pada
tahun saka: Ular Sifat Menggigit Bulan,
atau: 1328, pada tahun itu
terjadi huru hara ini.
Empat tahun kemudiannya Gajah Manguri
meninggal dunia pada
tahun saka: Sayap Sifat Tindakan Orang, atau
: 1332.
Gajah Lembaga menjadi patih, lamanya 12
tahun.
Selanjutnya terjadi peristiwa gunung meletus
didalam minggu
Julung Pujut, pada tahun saka: Tindakan
Kitab Suci Sifat Orang,
atau: 1343.
Gajah Lembana meninggal dunia pada tahun
saka: Api Api
Tindakan Bumi, atau: 1335.
Tuhan Kanaka menjadi patih lamanya 3 tahun.
Seri Ratu di Daha wafat, Seri Ratu di
Matahun wafat, Seri Ratu di
Mataramwafat.
Selanjutnya terjadi masa kekurangan makan
yang sangat lama
pada tahun saka: Ular Jaman Menggigit Orang,
atau : 1348.
Baginda di Tumapel wafat pada tahun saka:
Sembilan Jaman
Tindakan Orang, atau: 1349, dicandikan di
Lokerep, nama candinya
Asmarasaba.
Baginda di Wengker wafat, dicandikan di
Sumengka.
XIII. Tuhan Kanaka meninggal dunia pada
tahun saka: Sayap
Luka Sifat Orang, atau : 1363. Tujuh belas
tahun lamanya menjadi
patih.
Seri ratu di Lasem wafat di Jinggan.
Baginda di Pandan Salas wafat.
Raden Jagulu, Raden Gajah dilenyapkan,
karena dianggap
melakukan dosa, yalah: memenggal kepala
Baginda di Wirabumi,
pada tahun saka: Unsur Memanah Telur
Tunggal, atau: 1355.
Seri Ratu di Daha menjadi raja pada tahun
saka: Sembilan lima
api bulan, atau 1359.
Baginda Parameswara wafat, ia wafat di Wisnu
Bawana, pada
tahun saka: Ular Golongan Api Bulan, atau
tahun: 1359, dicandikan
di Singajaya.
Baginda Keling wafat, dicandikan di Apa Apa.
Seri Ratu Prabu-stri wafat pada tahun saka:
Sembilan Rasa Api
Bulan, atau: 1369, dicandikan di Singajaya.
XIV. Lalu Baginda Tumapel mengganti menjadi
raja.
Baginda di Paguhan melenyapkan orang orang
di Tidung
Galating, dan ini dilaporkan ke Majapahit.
Lalu terjadi gempa bumi pada tahun saka:
Sayap Golongan
Menggigit Bulan, atau: 1372.
Baginda di Paguhan wafat di Canggu,
dicandikan di Sabyantara.
Baginda Hyang wafat, dicandikan di Puri.
Baginda di Jagaraga wafat.
Seri Ratu di Kabalan wafat, dicandikan di
Pajang Wafat,
dicandikan menjadi satu di Sabyantara.
Lalu terjadi gunung meletus didalam minggu
Kuningan, pada
tahun saka: Belut Pendeta Menggigit Bulan,
atau: 1373.
Baginda Prabu wafat pada tahun saka: Api
Gunung Tindakan
Ekor, atau: 1373, nama resmi candinya Kerta
Wijaya Pura.
XV. Baginda di Pamotan menjadi raja di
Pamotan menjadi raja di
Keling, Kahuripan, nama nobatannya Sri
Rajasawardana.
Sang Sinagara, dicandikan di Sepang pada
tahun saka: Keinginan
Kuda menggigit Orang, atau: 1375.
XVI. Tiga tahun lamanya tidak ada raja.
XVII. Lalu Baginda di Wengker menjadi raja,
nama nobatannya
Baginda Hyang Purwa Wisesa, pada tahun saka:
Pendeta Tujuh Api
Menggigit Bulan, atau: 1378.
Lalu terjadi peristiwa gunung meletus
didalam minggu Landep,
pada tahun saka: Empat Ular Tiga Pohon,
atau: 1384.
Baginda di Daha wafat pada tahun saka:
Golongan Pendeta Api
Tunggal, atau: 1386.
Baginda Hyang Purwa Wisesa wafat, dicandikan
di Puri, pada
tahun saka: Pendeta Ular Api Bulan, atau:
1388.
Lalu Baginda di Jagaraga wafat.
XVIII. Baginda di Pandan Salas menjadi raja
di Tumapel, lalu
menjadi Baginda Prabu pada tahun saka:
Pendeta Ular Tindakan
Tunggal, atau: 1388.
Ia menjadi Prabu dua tahun lamanya.
Selanjutnya pergi dari
istana.
Anak anak sang Sinaraga yalah: Baginda di
Kahuripan, Baginda di
Mataram, baginda di Pamotan dan yang bungsu
yalah: baginda
Kertabumi, ini adalah paman baginda yang
wafat didalam kedatuan
pada tahun saka: Sunyi Tidak Jaman Orang,
atau: 1400.
Lalu terjadi peristiwa gunung meletus,
didalam minggu Watu
Gunung pada tahun saka: Tindakan Angkasa
Laut Ekor, atau: 1403.
Demikian itulah kitab tentang para datu.
Selesai ditulis di Itcasada di desa Sela
Penek, pada tahun saka:
Keinginginan Sifat Angin Orang, atau: 1535.
Diselesaikan ditulis hari Pahing, Sabtu,
minggu Warigadyan,
tanggal dua, tengah bulan menghitam, bulan
kedua.
Semoga ini diterima baik oleh yang berkenan
membaca, banyak
kekurangan dan kelebihan huruf hurufnya,
sukar dinikmati, tak
terkatakan berapa banyaknya memang rusak,
memang ini adalah
hasil dari kebodohan yang meluap luap
berhubung baharu saja
belajar.
Semoga panjang umur, mudah mudahan demikian
hendaknya,
demikianlah, semoga selamat bahagia, juga
sipenulis ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar